Seandainya Aku Punya Uang Satu Triliun – Cerpen Lucu Satir Tentang Kaya Mendadak
Pagi itu aku terbangun bukan karena suara ayam, tapi karena bunyi notifikasi: “Saldo Anda bertambah Rp1.000.000.000.000,00.”
Awalnya kupikir ini prank. Mungkin bank sedang bosan dan ingin bermain-main dengan nasib orang kecil sepertiku. Tapi setelah kulihat berulang kali, itu benar-benar satu triliun — bukan seratus ribu yang salah baca nolnya.
Aku bengong. Kopi di tangan hampir tumpah, dan untuk pertama kalinya aku berkata pada diri sendiri dengan nada percaya diri: “Mulai hari ini, aku bisa beli Indomie tanpa lihat harga.”
BAB I – Virus Triliun
Kabar itu cepat menyebar. Entah siapa yang membocorkan, mungkin server bank sendiri. Tiba-tiba WA-ku penuh pesan. Ada yang menulis, “Bro, inget gak dulu aku pernah traktir lo cilok?” Ada yang lain bilang, “Bang, aku masih single, tapi bisa kok diajak ke Bali kapan aja.”
Aku mulai populer. Tukang parkir depan rumah mendadak manggilku “Bos”, dan anak-anak kecil lewat sambil nyanyi, “Om Triliun! Om Triliun!” Awalnya aku panik, tapi kemudian aku mulai menikmati status sosial ini. Kupanggil petugas PLN, kubayar tagihan listrik 10 tahun ke depan. Kusumbangkan uang ke masjid, ke panti asuhan, bahkan ke warung depan rumah — walau ibu warung cuma terharu sambil bilang, “Mas, sambalnya tetap gratis ya.”
BAB II – Efek Samping Kaya Mendadak
Hari kedua, aku sudah mulai belanja besar. Beli gitar klasik dari Spanyol, beli kucing Persia meski aku alergi bulu, dan beli treadmill supaya bisa olahraga (yang akhirnya kujadikan gantungan baju).
Lalu aku punya ide: buka bisnis keren — “HaiNana Fried Rice” versi Sultan! Setiap nasi goreng dibungkus daun emas tipis, sajinya di piring porselen, dan tagline-nya: “Rasa Lembut, Gurihnya Bikin Tenang, Tapi Harganya Bikin Deg-Degan.” Sayangnya, pelanggan pertama bilang, “Bang, rasanya sih enak, tapi Rp500.000 sepiring kayaknya bisa buat catering nikahan.” Aku tersenyum kecut. Uang memang bisa beli panci baru, tapi gak bisa beli selera rakyat.
BAB III – Dunia Baru
Minggu berikutnya aku pindah ke rumah megah. Punya kolam renang, taman mini, dan patung diriku sendiri (hasil pesan online, sayang mirip Thanos). Tiap pagi aku makan roti Perancis, minum kopi Italia, tapi tetap rindu teh manis dari warung sebelah.
Teman-temanku berubah. Yang dulu nongkrong sambil ngutang gorengan, sekarang datang pakai jas, bawa proposal bisnis. Katanya, “Bro, ini proyek masa depan! Tinggal tanda tangan, cuan langsung!” Tapi anehnya, setiap proyek masa depan itu justru bikin aku gak punya masa depan.
BAB IV – Triliun yang Menguap
Suatu sore, aku ke bank untuk memastikan uangku aman. Petugasnya kelihatan gugup. Setelah beberapa klik di komputernya, dia menatapku dengan wajah lembut tapi menusuk: “Maaf, Pak… sistem kemarin salah input. Uangnya bukan milik Bapak.”
Aku nyaris pingsan. Kupikir ini bagian dari film, tapi sayangnya tak ada kamera tersembunyi. Dalam lima menit, aku turun dari status “Sultan” jadi “Sobat Miskin Plus Nostalgia.” Saldo di rekeningku kini Rp113.742. Lucunya, aku masih harus bayar cicilan gitar impor yang baru tiba kemarin.
BAB V – Kembali ke Kopi Hitam
Malamnya aku duduk di teras, menatap bintang sambil menyeruput kopi sachet. Anehnya, rasanya lebih nikmat dari espresso Rp300.000 di mall mewah. Mungkin karena sekarang aku sadar: kekayaan itu bukan angka di rekening, tapi kemampuan tertawa di tengah kesialan.
Keesokan harinya aku kembali ke warung ibu itu. Beliau senyum, “Mas yang dulu traktir satu RT ya? Mau sambal lebih?” Aku jawab, “Iya, Bu. Sekarang sambal aja deh, uangnya udah balik ke langit.” Kami tertawa. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar kaya — walau cuma dengan sepiring nasi goreng, dan sambal gratis yang tulus dari hati. ❤️
Judul: Seandainya Uang Satu Triliun Itu Beneran Cair ke Rekeningku
(Cerpen satir lucu dan sedikit nyindir kehidupan orang kaya mendadak) 😄💸
Pagi itu aku terbangun bukan karena suara ayam,
tapi karena bunyi notifikasi: “Saldo Anda bertambah Rp1.000.000.000.000,00.”
Awalnya kupikir ini prank.
Mungkin bank sedang bosan dan ingin bermain-main dengan nasib orang kecil sepertiku.
Tapi setelah kulihat berulang kali,
itu benar-benar satu triliun — bukan seratus ribu yang salah baca nolnya.
Aku bengong.
Kopi di tangan hampir tumpah,
dan untuk pertama kalinya aku berkata pada diri sendiri dengan nada percaya diri:
“Mulai hari ini, aku bisa beli Indomie tanpa lihat harga.”
BAB I – Virus Triliun
Kabar itu cepat menyebar.
Entah siapa yang membocorkan, mungkin server bank sendiri.
Tiba-tiba WA-ku penuh pesan.
Ada yang menulis, “Bro, inget gak dulu aku pernah traktir lo cilok?”
Ada yang lain bilang, “Bang, aku masih single, tapi bisa kok diajak ke Bali kapan aja.”
Aku mulai populer.
Tukang parkir depan rumah mendadak manggilku “Bos”,
dan anak-anak kecil lewat sambil nyanyi,
“Om Triliun! Om Triliun!”
Awalnya aku panik,
tapi kemudian aku mulai menikmati status sosial ini.
Kupanggil petugas PLN, kubayar tagihan listrik 10 tahun ke depan.
Kusumbangkan uang ke masjid, ke panti asuhan, bahkan ke warung depan rumah —
walau ibu warung cuma terharu sambil bilang,
“Mas, sambalnya tetap gratis ya.”
BAB II – Efek Samping Kaya Mendadak
Hari kedua, aku sudah mulai belanja besar.
Beli gitar klasik dari Spanyol,
beli kucing Persia meski aku alergi bulu,
dan beli treadmill supaya bisa olahraga (yang akhirnya kujadikan gantungan baju).
Lalu aku punya ide:
buka bisnis keren — “HaiNana Fried Rice” versi Sultan!
Setiap nasi goreng dibungkus daun emas tipis,
sajinya di piring porselen, dan tagline-nya:
“Rasa Lembut, Gurihnya Bikin Tenang, Tapi Harganya Bikin Deg-Degan.”
Sayangnya, pelanggan pertama bilang,
“Bang, rasanya sih enak, tapi Rp500.000 sepiring kayaknya bisa buat catering nikahan.”
Aku tersenyum kecut.
Uang memang bisa beli panci baru, tapi gak bisa beli selera rakyat.
BAB III – Dunia Baru
Minggu berikutnya aku pindah ke rumah megah.
Punya kolam renang, taman mini, dan patung diriku sendiri (hasil pesan online, sayang mirip Thanos).
Tiap pagi aku makan roti Perancis, minum kopi Italia,
tapi tetap rindu teh manis dari warung sebelah.
Teman-temanku berubah.
Yang dulu nongkrong sambil ngutang gorengan,
sekarang datang pakai jas, bawa proposal bisnis.
Katanya, “Bro, ini proyek masa depan! Tinggal tanda tangan, cuan langsung!”
Tapi anehnya, setiap proyek masa depan itu justru bikin aku gak punya masa depan.
BAB IV – Triliun yang Menguap
Suatu sore, aku ke bank untuk memastikan uangku aman.
Petugasnya kelihatan gugup.
Setelah beberapa klik di komputernya, dia menatapku dengan wajah lembut tapi menusuk:
“Maaf, Pak… sistem kemarin salah input. Uangnya bukan milik Bapak.”
Aku nyaris pingsan.
Kupikir ini bagian dari film, tapi sayangnya tak ada kamera tersembunyi.
Dalam lima menit, aku turun dari status “Sultan” jadi “Sobat Miskin Plus Nostalgia.”
Saldo di rekeningku kini Rp113.742.
Lucunya, aku masih harus bayar cicilan gitar impor yang baru tiba kemarin.
BAB V – Kembali ke Kopi Hitam
Malamnya aku duduk di teras,
menatap bintang sambil menyeruput kopi sachet.
Anehnya, rasanya lebih nikmat dari espresso Rp300.000 di mall mewah.
Mungkin karena sekarang aku sadar:
kekayaan itu bukan angka di rekening, tapi kemampuan tertawa di tengah kesialan.
Keesokan harinya aku kembali ke warung ibu itu.
Beliau senyum,
“Mas yang dulu traktir satu RT ya? Mau sambal lebih?”
Aku jawab, “Iya, Bu. Sekarang sambal aja deh, uangnya udah balik ke langit.”
Kami tertawa.
Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya,
aku merasa benar-benar kaya —
walau cuma dengan sepiring nasi goreng,
dan sambal gratis yang tulus dari hati. 
No comments:
Post a Comment