Tanjung Priok adalah pelabuhan air modern terbesar 
se-Indonesia di Jakarta. Dibangun untuk menggantikan pelabuhan lama 
yakni Pasar Ikan yang dinilai sudah tidak memenuhi syarat lagi. 
Lokasinya berjarak sekitar 9 km di sebelah timur dari pelabuhan lama. 
Wilayahnya masuk dalam lingkup administratif pemerintahan 
Kelurahan Tanjung Priok, Kec. Tanjung Priok, wilayah Kotamadya Jakarta 
Utara. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan suatu pelabuhan laut dalam yang
 pertama di mana kapal-kapal dapat bersandar, memuat batubara dan 
diperbaiki di suatu dok yang kering. Sebuah jalan kereta api juga dibuat
 untuk menghubungkan Tanjung Priok dengan kota lama Batavia dan daerah 
baru di selatan. Bermula dari kritik atas kelemahan fasilitas pelabuhan 
lama di Batavia, Tanjung Priok sampai sekarang tetap eksis 
sebagai pelabuhan penting bagi Jakarta untuk lalu lintas kapal-kapal 
besar.
Sebelum menjadi areal pelabuhan, awalnya
 areal ini merupakan tanah partikelir Tanjung Priok dan tanah partikelir
 Kampung Kodya Tanjung Priok, yang dikuasai oleh beberapa orang tuan 
tanah yaitu: Hana birtti Sech Sleman Daud; Oeij Tek Tjiang; Said Alowie 
bin Abdulah Atas; Ko Siong Thaij; Gouw Kimmirt; dan Pattan. Tanah 
partikelir tersebut kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia 
Belanda, lalu disewakan kepada maskapai pelayaran Koninklijke Paketvaar Maatschappij (KPM)
 guna pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan Tanjung Priok. Tanah 
partikelir tersebut merupakan areal kebun kelapa. Gagasan 
pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok dipelopori oleh kalangan swasta 
pemilik modal (kaum kapitalis) di negri Belanda.
Kemudian KPM bermitra dengan 
Perusahaan Burn Philip Lina, Rotterdamsche Loyd Ocean, Nederlandsche 
Loyd Ocean. Selain itu juga meminta jaminan kepada pemerintah Hirtdia 
Belanda untuk membantu dalam pengendalian keamanan dan pengerahan tenaga
 buruh pribumi. Pemerintah Hindia Belanda segera membatalkan 
status tanah partikelir Kampung Kodya Tandjung Priok dan tanah 
partikelir Tandjung Priok, kemudian disewakan kepada KPM selama 75 tahun
 sejak tahun 1877. Pemerintah Hindia Belanda juga menekan para bupati di
 Jawa khususnya bupati-bupati di Banten dan Priangan serta Jawa Tengah 
untuk mengirimkan rakyatnya bekerja bagi pembangunan Pelabuhan Tanjung 
Priok.
Pengerjaan Pelabuhan Tanjung 
Priok dimulai pada bulan Mei 1877 dan selesai pada tahun 1886. Dimulai 
dengan pembangunan Pelabuhan I setelah adanya ketentuan bahwa kegiatan 
Pelabuhan Sunda Kelapa dipindahkan ke Tanjung Priok. Perencana pelabuhan
 ini adalah Ir.J.A.A. Waldrop, seorang insinyur yang berasal dari 
Belanda sedangkan pelaksananya adalah Jr. J.A. de Gelder dari 
Departement B.O.W., seorang Insinyur Perairan. Dengan 
diresmikannya Pelabuhan Tanjung Priok 1886, maka kegiatan pelabuhan 
utama Batavia yang semula berada di Kali Ciliwung sekitar 
kasteel Batavia dialihkan ke Pelabuhan Tanjung Priok, dan Pelabuhan Kali
 Ciliwung tersebut, kemudian dikenal dengan nama Pelabuhan Pasar Ikan. 
Selain membangun Pelabuhan Tanjung Priok, KPM juga membangun Pelabuhan 
Teluk Bayur-Padang (Port Van der Capellen)
 pada tahun 1886 dan Pelabuhan Belawan Deli tahun 1891. Pada 
awal peresmiannya, hanya beberapa kapal bermesin uap dan mayoritas 
adalah kapal-kapal layar. Memasuki abad ke-20 jumlah kapal bermesin uap 
meningkat menggantikan kapal-kapal layar. Pada tahun 1912 sejalan dengan
 perkembangan ekonomi yang pesat pelabuhan itu dirasakan terlalu kecil 
maka dilakukan perluasan.
Pada tahun 1914 dimulai 
pembangunan Pelabuhan II. Pemborong bangunannya adalah Volker. Tahun 
1917 pembangunan selesai dengan panjang kade pelabuhan 100 meter dan 
kedalaman air 9,5 meter LWS, sedangkan bendungan bagian luar dirubah 
dan diperpanjang sedang lebar kade 15 meter untuk double spoor 
kereta api dan kran-kran listrik. Tahun 1917 dibangun juga tempat 
penyimpanan batubara oleh NISHM serta tempat penyediaan bahan bakar oleh
 BPM dan Shell. 
Pelabuhan III mulai dibangun tahun 1921,
 tetapi terhenti akibat Malaise. Kemudian dilanjutkan kembali tahun 1929
 dan selesai tahun 1932 dengan panjang kade 550 meter di sebelah barat. 
Pada masa pendudukan Jepang, Pelabuhan Tanjung Priok dikuasai oleh Djawa Unko Kaisya yang berada di bawah Kaigun
 (Angkatan Laut Jepang). Kondisi pelabuhan sebagian rusak, khususnya 
sengaja dirusak oleh Belanda yang menyerah kepada Jepang (7 Maret 1942).
 Agar pelabuhan dapat dioperasikan, Jepang mengerahkan tenaga Romusha 
untuk memperbaiki pelabuhan. Seperti pengerukan alur, pembersihan alur 
dari ranjau-ranjau yang sengaja ditebarkan oleh Belanda. Selain 
alur pelabuhan, banyak fasilitas lainnya yang rusak dan harus 
diperbaiki, seperti gudang-gudang, dok, dermaga dan jalan.
Setelah kemerdekaan RI (17 
Agustus 1945), Pelabuhan Tanjung Priok diambil alih oleh bangsa 
Indonesia/pemerintah RI melalui Badan Keamanan Rakyat Laut Tanjung Priok
 bersama pejuang Indonesia lainnya yang umumnya merupakan pekerja 
pada Pelabuhan Tanjung Priok di masa Kolonial Belanda maupun masa 
Kolonial Jepang. Pada pertengahan September 1945 Pelabuhan Tanjung Priok
 dikuasai oleh  pemerintah RI, namun beberapa minggu kemudian 
dikendalikan oleh NICA yang membonceng pada Sekutu 29 September 1945. 
Pengendalian oleh NICA berlangsung sampai tanggal 27 Desember 1949.
Setelah pengakuan kedaulatan RI 
(27 Desember 1949), berdasarkan pasal perjanjian KMB (Konferensi Meja 
Bundar) Pelabuhan Tanjung Priok harus dikembalikan kepada Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)
 yang masih memiliki hak pengelolaan berdasarkan konsesi selama 75 tahun
 sejak tahun 1877, yang berarti KPM masih memiliki hak pengelolaan 
sampai tahun 1952. Pada tahun 1952 pemerintah RI melakukan 
"Nasionalisasi" atas Pelabuhan Tanjung Priok, pengelolaannya diserahkan 
kepada Kementerian Perhubungan, Djawatan Perhubungan Laut, sedangkan 
pelaksananya adalah Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP).
Untuk pelaksanaan aktivitas 
pelabuhan, seluruh kapal KPM diambil-alih lalu diserahkan kepada PN.Dok 
Tanjung Priok. Fasilitas gudang, fasilitas dermaga, dan 
fasilitas lainnya dikelola BPP yang melibatkan berbagai instansi terkait
 seperti Djawatan Bea dan Cukai, Djawatan Pengerukan, Djawatan Imigrasi,
 Komandan Militer Kota, KPPP, KPLP dan lainnya. Untuk meningkatkan 
jasa pelayanan pelabuhan, pemerintah RI melakukan perbaikan atas 
fasilitas yang rusak akibat perang kemerdekaan (1945-1949), juga 
melakukan pembangunan fasilitas/ sarana/prasarana infrastruktur 
dalam rangka menjadikan Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pelabuhan utama 
Indonesia. Pada tahun 1955 diresmikan fasilitas Pelabuhan Nusantara I 
dalam areal pelabuhan Tanjung Priok.
Pelabuhan Tanjung Priok 
ditetapkan sebagai Perusahaan Negara. Sistem organisasi kepelabuhan 
dirubah dengan penguasa tunggal di pelabuhan adalah "Komandan Penguasa 
Pelabuhan" yang di dalamnya tergabung Kesyahbandaran sebagai 
staf Operasi dan P.N. Pelabuhan sebagai staf jasa. Tahun 1969 organisai 
P.N. Pelabuhan lebih diarahkan pada segi Ekonomi dan Perdagangan, sedang
 Penguasa Pelabuhan dirubah menjadi administrator pelabuhan selaku 
penangggungjawab umum dan tinggal di pelabuhan di dalam organisasi 
Badan Penguasa Pelabuhan (BPP) dengan dibantu oleh semacam Penasehat 
yaitu Badan Musyawarah Pelabuhan (BMP) sedangkan Adpel sendiri berada di
 bawah pengawasan Kepala Daerah Pelayaran.
Tanggal 13 Januari 1971 
terjadilah penandatanganan perjanjian kerjasama Pelabuhan Tanjung Priok 
dengan Priams (Amsterdam) dengan tukar menukar data dan pendalaman 
sebagai bahan perbandingan. Kemudian Presiden membentuk Team Penertib 
Pelabuhan Tanjung Priok yang disebut "Walisongo" yang 
mengadakan perbaikan-perbaikan di pelabuhan.
Tahun 1974 Pembangunan Proyek Besar 
Dermaga Pelabuhan III Timur dan Dermaga Pelabuhan I Timur sebagai 
tambahan terbesar untuk fasilitas tempat di pelabuhan. Selain itu dibuat
 juga Operation Room BPP 
yang diresmikan pemakaiannya oleh Ketua Team Walisongo Slamet 
Danudirdjo tanggal 5 Juli 1975 dengan mengibaratkan Tanjung Priok 
sebagai "Si Denok Bandarwati". Motto tersebut bermakna "Hari esok 
haruslah lebih baik dari hari ini karena hari ini telah lebih baik dari 
hari kemarin". Dengan motto ini Pelabuhan Tanjung Priok ditata dari hari
 ke hari tanpa mengenal lelah. Si Denok Bandarwati yang telah 
mencapai usia seabad ini telah merubah wajahnya, merubah bentuknya 
menyesuaikan diri pada perkembangan masa kini. Pelabuhan bisa 
mencapai keadaan seperti sekarang ini adalah pula atas kerja sarna semua
 unsur di pelabuhan mulai dari buruhnya sampai kepada Adpelnya, dari 
para penguasanya sampai pada pengelolanya. Pada Upacara peringatan 
100 tahun, tercetus puisi persembahan untuk Si Denok Bandarwati ciptaan 
Slamet Danudirdjo.
Tahun 1977 Pelabuhan Tanjung 
Priok mencapai usia 100 tahun atau seabad, dalam rangka peringatan ini 
diadakan "7 tahun Interport Sports Meet " dengan para pesertanya dari 
Pelabuhan Singapura, Penang, Sabah, Kuching, Bangkok, Rejang 
Johor, Manila, Kuantan, Belawan dan Tanjung Perak. Puncak acara 
peringatan ini berlangsung tanggal 17 Juni 1977 dimana secara 
resmi Peringatan 100 tahun Pelabuhan Tanjung Priok dimulai.

No comments:
Post a Comment