BAB 1 – SAAT PERTAMA BERTEMU
Tahun itu 1986.
Langit Condet masih sering memerah di sore hari, dan udara Jakarta belum sepadat sekarang. Di pinggir jalan Raya Condet, deretan pohon mangga dan kedai es cendol jadi saksi perjalanan para pelajar yang pulang dengan seragam putih abu-abu, menenteng tas kain lusuh dan sepatu hitam mengkilap hasil semir tiap Senin pagi.
Rafi berdiri di depan gerbang besar bertuliskan “SMA Negeri 26 Condet” dengan hati berdebar. Ia siswa pindahan dari Bogor, baru saja mengikuti ayahnya yang dipindahkan tugas ke Jakarta Timur. Segalanya terasa asing baginya—dialek Betawi yang kental, hiruk-pikuk motor vespa di parkiran, dan suara radio tua di kantin sekolah yang memutar lagu-lagu Broery Marantika dan Vina Panduwinata.
Ia melangkah pelan ke arah ruang kelas 2 IPS-1, menggenggam map cokelat berisi surat pindah sekolah.
Saat pintu kelas dibuka, puluhan pasang mata menatapnya.
“Anak baru, ya?” celetuk seseorang di barisan belakang.
Rafi hanya tersenyum kaku.
Guru wali kelas, Bu Ratna, memperkenalkan, “Anak-anak, ini teman baru kalian. Namanya Rafi Pratama, pindahan dari Bogor. Tolong bantu dia menyesuaikan diri.”
Dan di antara barisan wajah itu, ada satu yang membuat waktu berhenti sejenak—seorang gadis berambut dua kuncir, duduk di dekat jendela, dengan mata teduh dan senyum kecil yang entah kenapa menenangkan. Namanya Nisa, seperti yang dipanggil teman-temannya.
Rafi duduk di bangku belakang, dua baris di belakang Nisa. Dari sana, ia bisa melihat sedikit bayangan rambutnya yang berayun tiap kali angin masuk lewat jendela.
Hari-hari pertama berjalan canggung. Rafi pendiam, lebih suka menggambar gitar di buku tulisnya ketimbang ikut bercanda. Tapi suatu siang, saat istirahat, ia tanpa sengaja menjatuhkan pulpen di dekat meja Nisa.
“Ini punyamu, ya?” tanya Nisa sambil memungut pulpen itu dan tersenyum.
Suara itu lembut sekali, seperti nada pertama dari lagu yang belum selesai.
Rafi mengangguk. “Iya, makasih…”
“Eh, kamu suka gambar gitar, ya?” Nisa menunjuk buku tulisnya yang terbuka.
“Iya, aku main juga sedikit,” jawab Rafi.
“Wah, keren. Aku suka denger lagu-lagu Chrisye sama Titi DJ. Mungkin nanti kamu bisa mainin?”
Dan begitu saja, percakapan kecil itu menjadi awal sesuatu yang panjang.
Sejak hari itu, Rafi mulai terbiasa datang pagi-pagi ke sekolah, duduk lebih depan, berharap bisa menyapa Nisa sebelum bel masuk berbunyi. Mereka mulai bertukar catatan pelajaran, kadang juga cerita-cerita kecil di kertas sobekan yang diselipkan diam-diam di buku pelajaran.
Suatu hari, di jam istirahat, Nisa datang membawa selembar kertas kecil.
“Rafi, ini…” katanya pelan. “Buat kamu. Jangan dibuka di sini, ya.”
Rafi menerimanya bingung.
Begitu pulang ke rumah, ia buka kertas itu perlahan. Tulisan tangan miring dengan tinta biru memenuhi setengah halaman:
“Aku nggak tahu kenapa, tapi tiap kamu main gitar di belakang kelas, rasanya kayak hujan sore. Tenang, tapi bikin hati hangat. Terus main ya, jangan berhenti.”
— N
Rafi terdiam lama malam itu. Surat itu bukan sekadar tulisan. Itu seperti sebuah awal—awal dari kisah yang akan ia kenang seumur hidupnya.
Sejak hari itu, dunia sekolah terasa berbeda.
Pagi jadi lebih cerah, suara bel lebih merdu, dan bahkan tugas matematika terasa ringan.
Karena di antara semua kesibukan, selalu ada Nisa—gadis yang menatap dari jendela kelas dengan senyum yang bisa membuat waktu berhenti sejenak
Bersambung
Klik Surat dari laci meja
No comments:
Post a Comment