BAB 2 – SURAT DARI LACI MEJA
Hari-hari di SMAN 26 Condet berjalan dengan irama yang damai.
Bel masuk masih menggunakan lonceng besi tua yang suaranya serak-serak, dan papan tulis masih penuh debu kapur yang beterbangan saat Bu Ratna menulis rumus di depan kelas.
Namun bagi Rafi, setiap pagi kini terasa berbeda. Ia selalu datang lebih cepat dari teman-temannya—bukan karena rajin, tapi karena ingin melihat Nisa masuk dari pintu depan kelas dengan langkah kecil dan rambut yang diikat pita putih.
Pagi itu, saat Rafi membuka laci mejanya, ia menemukan selembar kertas kecil terlipat rapi.
Tinta biru, tulisan tangan yang sama seperti surat pertama.
Ia menatap sekeliling, memastikan tak ada yang memperhatikan, lalu membuka surat itu perlahan.
“Selamat pagi, Rafi. Aku suka caramu memandangi langit sebelum pelajaran dimulai. Seperti ada yang kamu pikirkan dalam-dalam.
Aku cuma mau bilang, dunia ini nggak selalu keras. Kadang, cukup lihat langit dan ingat, ada seseorang yang berharap kamu tetap tersenyum hari ini.
— N”
Rafi tertegun lama. Ia tahu pasti surat itu dari Nisa. Tapi ia pura-pura tak tahu, membiarkan semuanya mengalir seperti rahasia kecil di antara mereka berdua.
Beberapa hari kemudian, ia membalas surat itu. Ia menulis dengan hati-hati di kertas bergaris:
“Terima kasih sudah menulis untukku. Aku memang sering lihat langit, mungkin karena di sana aku bisa bebas berpikir.
Tapi sekarang, setiap lihat langit, aku malah kepikiran kamu.
— R”
Ia menyelipkannya diam-diam ke dalam buku Nisa yang tertinggal di meja saat jam olahraga.
Dan begitulah, sejak hari itu, surat demi surat pun berganti setiap beberapa hari—selalu diselipkan di tempat yang tak disangka: di balik buku sejarah, di bawah tempat pensil, di sela-sela catatan pelajaran ekonomi.
Surat-surat itu bukan tentang cinta yang terbuka.
Belum.
Isinya sederhana—tentang hujan, tentang matahari, tentang rasa gugup saat ulangan, atau sekadar tentang radio yang memutar lagu-lagu Koes Plus di sore hari.
Namun bagi mereka berdua, surat-surat itu adalah dunia kecil yang hanya mereka miliki.
Suatu sore setelah jam pelajaran selesai, Rafi sedang merapikan bukunya saat Nisa datang.
“Kamu pulang naik apa?” tanya Nisa sambil memeluk buku di dadanya.
“Sepeda, onthel tua punya ayahku. Kenapa?”
Nisa tersenyum kecil. “Aku lewat gang yang sama, boleh nebeng?”
Rafi nyaris tak bisa menjawab. “Boleh, tentu boleh.”
Sore itu mereka pulang berdua. Jalan Condet masih basah sisa hujan, daun-daun mangga berkilau kena cahaya senja. Nisa duduk di jok belakang sepeda, menatap langit jingga sambil menggenggam erat tasnya.
“Rafi,” katanya pelan.
“Hm?”
“Kalau nanti kita lulus, kamu mau ke mana?”
“Belum tahu. Mungkin kuliah di Bandung. Kamu?”
“Aku pengin kuliah juga, tapi ayah kadang keras. Katanya, perempuan nggak usah jauh-jauh.”
Rafi menoleh sekilas. “Kamu pasti bisa meyakinkan beliau. Kamu pintar.”
Nisa tersenyum, tapi senyum itu terasa getir.
Saat mereka sampai di depan rumah Nisa, gadis itu turun perlahan, lalu menatap Rafi lama-lama.
“Terima kasih, ya.”
“Untuk apa?”
“Untuk hari ini… dan surat-suratnya.”
Rafi terdiam.
Jadi Nisa tahu, pikirnya. Tapi Nisa hanya tersenyum dan melangkah masuk ke halaman rumah yang dikelilingi pohon jambu.
Hari mulai gelap.
Dari kejauhan, Rafi melihat Nisa menoleh sebentar dari balik pintu, lalu melambaikan tangan pelan.
Saat itu juga, Rafi tahu — surat-surat itu bukan lagi sekadar kata di kertas.
Itu sudah menjadi jembatan hati mereka berdua.
Dan malam itu, di kamarnya yang kecil, Rafi menulis satu surat lagi:
“Nisa, aku nggak tahu kenapa dunia terasa lebih hidup sejak aku kenal kamu.
Mungkin nanti kalau waktu berjalan, kita bakal sibuk, bakal jauh. Tapi biarlah surat-surat ini jadi saksi, bahwa dulu, di SMAN 26 Condet, ada dua anak yang saling menulis tanpa pernah tahu bagaimana akhir kisahnya.”
— Rafi
Ia lipat surat itu rapi, dan keesokan paginya, ia letakkan di laci meja Nisa — tepat di bawah buku matematika yang tertutup debu kapur.
No comments:
Post a Comment