Monday, November 10, 2025

kisah Cinta di SMAN 51 Condet (6)

BAB 6 – ANGIN SEPTEMBER DAN SURAT YANG HILANG

Bulan September datang bersama angin kering yang membawa aroma daun jatuh dari kebun salak di belakang sekolah.
SMAN 26 Condet mulai sibuk dengan kegiatan akhir semester. Suara sepatu berderit di koridor, lembaran ujian beterbangan tertiup angin, dan di dinding aula terpampang besar tulisan “Persiapan Pentas Seni & Perpisahan Kelas 3”.

Rafi dan Nisa kini duduk di kelas tiga. Waktu berjalan cepat, dan keduanya semakin dekat. Tapi, kedekatan itu juga membuat banyak mata memperhatikan.

“Eh, si Rafi sama Nisa kayaknya pacaran, deh,” bisik seorang siswi saat istirahat.
Nisa hanya menunduk, pura-pura tidak dengar. Tapi dalam hati, ia canggung. Tahun 80-an, hubungan remaja belum sebebas sekarang. Sekadar jalan bareng saja bisa jadi bahan gunjingan.

Sore itu, setelah jam pelajaran usai, Rafi memanggil Nisa di halaman belakang sekolah.
“Nis, aku nulis surat buat kamu,” katanya sambil menyerahkan amplop cokelat kecil.
Nisa tersenyum. “Surat lagi? Kamu nggak pernah bosan ya, Raf.”
“Enggak. Soalnya kalau aku ngomong langsung, nanti kamu malu,” jawab Rafi sambil menggaruk kepala.

Nisa tertawa kecil. Ia menerima surat itu dan menyimpannya di tas, lalu mereka pun berpisah.
Namun sore itu, saat Nisa berjalan pulang, hujan turun mendadak. Ia berlari menembus gang kecil, tapi di tengah perjalanan, tasnya terjatuh di lumpur. Buku dan surat dari Rafi ikut tercecer. Ia buru-buru memungutnya satu per satu, tapi selembar surat terbang tertiup angin dan masuk ke kebun salak.

Ia sempat mengejar, tapi surat itu menghilang di antara daun-daun basah.

Keesokan harinya di sekolah, Rafi menatap Nisa dengan harap.
“Kamu udah baca suratku?” tanyanya pelan.
Nisa gugup. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan bahwa surat itu hilang.
“Belum… aku lupa taruh di mana,” katanya pelan.

Rafi terdiam. Matanya redup. Ia mengangguk pelan, pura-pura tersenyum. “Nggak apa-apa. Mungkin nanti kamu sempat baca.”

Tapi sejak hari itu, ada jarak di antara mereka.
Nisa merasa bersalah, tapi Rafi menahan kecewa.
Mereka masih saling sapa, tapi sudah tak lagi saling menulis.

Sampai suatu sore, Nisa menemukan Rafi duduk sendirian di lapangan belakang sekolah. Ia menghampiri dengan langkah pelan.
“Rafi,” panggilnya.
“Ya?”
“Aku mau jujur. Suratmu… hilang waktu hujan. Aku nyari, tapi nggak ketemu.”

Rafi menatap Nisa lama. Hujan sore mulai turun lagi, seolah ingin mengulang kenangan lama mereka.
“Aku ngerti,” katanya pelan. “Mungkin memang begitu jalannya.”

Nisa menunduk. “Maaf, Rafi.”
Rafi tersenyum samar. “Aku cuma nulis satu hal di surat itu, Nis. Tentang janji kita di pohon duku.”

Nisa menatapnya cepat. “Apa maksudmu?”
“Aku cuma bilang… kalau nanti kita udah lulus, dan kamu nggak lihat aku lagi, datanglah ke pohon itu. Aku pasti ke sana.”

Hening sesaat. Suara hujan terdengar makin deras, menimpa atap seng dan daun-daun mangga.
Nisa menggigit bibirnya, menahan perasaan yang sulit dijelaskan.

“Rafi,” katanya pelan. “Aku nggak mau janji itu cuma tinggal kenangan.”
Rafi menatapnya. “Kalau begitu, simpan saja dalam hati. Kadang yang disimpan justru yang paling abadi.”

Sore itu mereka berdiri di bawah hujan tanpa payung, hanya berhadapan dalam diam.
Mereka sama-sama tahu, sesuatu mulai berubah. Waktu tak lagi memihak.

Ketika mereka pulang ke rumah masing-masing, Nisa membuka jendela kamarnya.
Dari kejauhan, ia bisa melihat samar-samar kebun salak di mana surat itu hilang. Ia menatapnya lama, berharap surat itu masih ada di sana — mungkin basah, mungkin sobek — tapi masih menyimpan kata-kata yang belum sempat ia baca.

Dan malam itu, radio kecil di meja belajar memutar lagu Bimbo, “Ada secarik surat cinta, tertulis di atas daun salak...”
Nisa terdiam. Seolah lagu itu tahu kisahnya.


🕊️ Bab 6 selesai (≈700 kata)

Di bab ini mulai muncul titik patah: salah paham, kehilangan surat, dan jarak di antara mereka.
Tapi pohon duku dan janji lama masih menunggu untuk diuji di waktu perpisahan nanti.

💔


No comments:

Post a Comment