Monday, November 10, 2025

Kisah Cinta di SMAN 51 Condet (5)

 

JANJI DI BAWAH POHON DUKU

Hari Minggu pagi, udara Condet terasa segar. Matahari baru naik setengah, dan kabut tipis masih menempel di daun-daun salak di pinggir jalan. Burung-burung kecil berloncatan di ranting pohon duku yang rimbun, seolah ikut menikmati tenangnya pagi.

Rafi datang ke rumah Nisa dengan sepeda ontel birunya yang mulai berkarat di bagian pedal. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana panjang cokelat muda, penampilan khas remaja 80-an yang berusaha terlihat rapi di depan gadis yang disukainya.

“Assalamu’alaikum,” panggilnya pelan dari luar pagar bambu.
Nisa muncul di teras, mengenakan baju putih polos dan rok biru muda. Rambutnya diikat sederhana, tapi justru membuatnya tampak manis alami.
“Wa’alaikum salam. Wah, pagi-pagi udah datang. Ada apa, Rafi?”
Rafi tersenyum gugup. “Nggak ada apa-apa, cuma… pengin ngajak jalan sebentar. Nggak jauh, ke kebun duku belakang sekolah.”

Nisa menatapnya curiga, tapi senyum kecilnya menandakan ia setuju. “Tunggu ya, aku izin dulu ke Ibu.”

Beberapa menit kemudian, mereka berjalan berdua menyusuri jalan tanah yang diapit kebun salak dan pohon pisang. Udara pagi masih lembab, sesekali terdengar suara radio dari rumah penduduk yang memutar lagu-lagu Iwan Fals dan Vina Panduwinata.

“Condet masih sepi ya,” kata Nisa pelan.
“Iya. Mungkin sepuluh tahun lagi udah banyak rumah di sini,” jawab Rafi.
“Kamu pikir nanti kita masih di sini?”
Rafi menatap ke depan. “Entahlah. Tapi aku pengin ingat tempat ini, terutama hari ini.”

Mereka sampai di sebuah kebun duku tua di belakang sekolah, tempat yang sering dipakai anak-anak bermain petak umpet. Pohon-pohonnya besar dan rindang, dan di tengahnya ada satu batang pohon duku yang tumbuh miring dengan akar menonjol seperti kursi alami.

Rafi duduk di sana, lalu  menepuk nepuk tempat di sebelahnya. “Duduk sini.”
Nisa duduk pelan, lalu bertanya, “Kamu mau ngomong apa, sih?”

Rafi menatap ke arah daun-daun yang bergetar diterpa angin. “Aku cuma pengin bilang… aku senang kenal kamu, Nisa. Aku nggak tahu kapan tepatnya aku mulai suka sama kamu, tapi setiap kali kamu senyum, dunia kayak berhenti sebentar.”

Nisa terdiam. Wajahnya memerah, tapi matanya tetap lembut.
“Rafi, kita masih sekolah. Kamu nggak takut nanti malah ribet?”
Rafi tertawa kecil. “Ribet dikit nggak apa-apa. Asal sama kamu.”

Nisa menunduk, memainkan ujung roknya.
“Kalau gitu, janji ya,” katanya pelan. “Jangan berubah setelah ini. Jangan tiba-tiba ngilang kayak cerita-cerita radio itu.”

“Janji,” jawab Rafi cepat. Ia mengulurkan tangan, dan Nisa menepuknya pelan.
“Kalau gitu, aku juga janji,” katanya, tersenyum. “Aku bakal tetap inget kamu, apa pun yang nanti terjadi.”

Hening sesaat. Angin berhembus, menggoyang ranting duku di atas kepala mereka.
Seekor kupu-kupu putih lewat, melayang di antara sinar matahari yang menembus daun.

Rafi lalu mengambil pisau kecil dari sakunya, dan dengan hati-hati menggores batang pohon duku itu.
Ia menulis pelan:
R + N = 1984

Nisa terkejut kecil. “Eh, kamu ngapain?”
“Biar nggak lupa,” kata Rafi sambil tersenyum. “Kalau nanti kita udah besar, kita balik lagi ke sini. Lihat pohon ini. Kalau ukirannya masih ada, berarti janji kita masih hidup.”

Nisa menatap tulisan itu lama-lama, lalu mengangguk pelan.
“Kalau begitu, aku juga mau nulis.”
Ia mengambil pisau kecil itu dan menambahkan satu kata di bawah ukiran Rafi:
‘Janji tetap sahabat, meski waktu berubah.’

Rafi tertawa pelan. “Kamu ini, sahabat aja?”
Nisa menatapnya, setengah malu, setengah serius. “Untuk sekarang. Siapa tahu nanti, waktu yang nentuin.”

Matahari mulai meninggi. Burung-burung kembali berkicau. Dari kejauhan, terdengar suara anak-anak kecil tertawa bermain bola di lapangan.

Sebelum mereka pulang, Rafi berkata pelan,
“Nisa, kalau suatu saat kamu merasa sendiri, datanglah ke pohon ini. Aku pasti juga akan ke sini.”

Nisa menatapnya, senyum di bibirnya samar tapi hangat.
“Baiklah, Rafi. Janji.”

Dan sejak hari itu, pohon duku di belakang SMAN 26 Condet menjadi saksi — bukan hanya cinta pertama mereka, tapi juga sebuah janji yang kelak akan diuji oleh waktu.

Suasana Condet tahun 80-an makin terasa: kebun duku, jalan tanah, lagu radio, dan janji polos dua remaja.



No comments:

Post a Comment