Wednesday, November 19, 2025

Hilangnya Sebuah Harapan bag. 2

.


Hilangnya Sebuah Harapan – Bagian 2: Ketika Cahaya Itu Muncul

Malam turun di Pantai Kencana seperti tirai lembut yang menutup panggung hari itu. Setelah melepaskan liontin bulan sabit ke laut, Dara berdiri diam cukup lama. Ia merasa seakan seluruh penantian, luka, dan kelelahan yang ia simpan selama berbulan-bulan akhirnya menemukan tempat untuk pergi.

Juno tetap berdiri di sampingnya, tidak mengatakan apa-apa. Hanya hadir, seperti cahaya kecil yang perlahan-lahan menerangi ruang gelap dalam hati Dara.

“Juno…” Dara akhirnya berbicara, suaranya lirih. “Terima kasih sudah ada di sini.”

Juno menunduk sedikit, tersenyum hangat. “Aku cuma nggak mau kamu melalui ini sendirian.”

Dara menatap laut yang gelap, lalu menarik napas dalam. “Ternyata yang paling menyakitkan bukan kehilangan seseorang, tapi berusaha mempertahankan sesuatu yang sebenarnya sudah tiada.”

Juno terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Kamu masih menyimpan banyak luka, ya?”

“Masih…” jawab Dara, jujur. “Tapi aku… aku merasa lebih ringan.”

“Karena kamu berani melepaskan,” kata Juno. “Dan itu hal yang nggak semua orang bisa lakukan.”

Dara tersenyum kecil. “Aku takut… tapi aku juga capek. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa langkahku nggak lagi terikat pada seseorang.”

Ia menoleh pada Juno. “Ternyata rasanya… lega.”

Juno menatapnya, matanya berbinar kecil. “Itu bagus. Kamu layak bahagia, Dara.”

Ada sesuatu di kalimat itu yang membuat hati Dara hangat. Bukan perasaan yang menggelegar, bukan pula percikan tiba-tiba. Lebih seperti api kecil yang mulai menyala setelah sekian lama padam.

Sederhana. Tenang. Nyaman.


Keesokan harinya, Dara bangun lebih pagi dari biasanya. Cahaya matahari menembus tirai jendela studionya. Ruangan itu masih berantakan dengan peralatan fotografi yang berserakan, namun entah kenapa, semuanya terlihat lebih hidup hari itu.

Ia membuat teh hangat dan duduk di meja kerjanya. Biasanya ia akan langsung membuka pesan—menunggu sesuatu dari Raka. Tapi hari ini… tidak ada dorongan itu.

Justru ia membuka foto-foto lama yang pernah ia ambil bersama Juno di berbagai acara komunitas.

Ada foto Juno tertawa ketika ia tanpa sengaja tumpahkan kopi ke kakinya sendiri. Ada foto Juno memegang lampu portable saat membantu Dara mengambil gambar di malam hari. Ada foto Juno berdiri canggung di tengah hujan karena Dara memintanya jadi model dadakan.

Dan yang membuatnya terdiam: dalam banyak foto itu, Juno selalu melihat ke arah Dara.

Selalu.

Seolah tanpa sadar, ia selalu mencari keberadaannya.

Dara menatap layar laptop itu lama. Pipinya hangat.

Mungkin selama ini ia yang tidak pernah benar-benar melihat.


Beberapa hari berlalu. Dara mulai kembali bekerja dengan senyuman yang lebih tulus. Ia mengerjakan proyek kecil—foto katalog untuk UMKM lokal. Juno sering mampir, menawarkan bantuan mengangkat barang atau sekadar menemani.

Dara tidak menolak. Dan Juno tidak pernah memaksa.

Suatu sore, setelah memotret di desa sebelah, Dara dan Juno duduk di tepi dermaga kecil. Sinar keemasan matahari memantul di permukaan air, dan angin sore membuat suasana terasa hangat dan damai.

“Besok aku pergi ke Bandung,” kata Juno tanpa banyak basa-basi.

Dara menoleh cepat. “Pergi? Untuk apa?”

“Ada tawaran kerja. Editor foto di studio besar.” Juno tersenyum tipis. “Kesempatan bagus.”

“Oh…” Dara mengangguk pelan, menahan sesuatu yang tiba-tiba menekan dadanya. “Bagus dong…”

“Kamu kelihatan nggak senang.”

“Aku… bukan nggak senang.” Dara menunduk. “Cuma… tiba-tiba saja.”

Juno menghela napas. “Aku ragu untuk nerima, sebenarnya.”

“Kenapa?” tanya Dara cepat.

“Karena aku… masih ingin ada di dekatmu.”

Kata-kata itu membuat Dara membeku sesaat.

Juno mengusap belakang kepalanya, seperti sedang bingung sendiri. “Bukan karena kamu butuh aku atau apa. Tapi… aku takut pergi tanpa bilang apa-apa. Takut kamu salah paham. Takut kamu berpikir aku pergi kayak Raka.”

Dara terperangah, dadanya menghangat. “Juno, kamu bukan dia.”

Juno tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kamu baru saja belajar melepaskan. Aku nggak mau jadi alasan kamu merasa ditinggalkan lagi.”

Dara menatap wajahnya lama. Juno benar—itu bukan sekadar rasa takut ditinggal; ini tentang seseorang yang peduli cukup dalam untuk tidak ingin melukai lagi.

“Berapa lama kamu akan di sana?” tanya Dara akhirnya.

“Kalau cocok, bisa lama.”

Dara menelan ludah. “Terus… kamu mau aku bilang apa?”

“Jujur aja.” Juno menatap matanya. “Kamu ingin aku pergi atau tetap di sini?”

Pertanyaan itu seperti menyalakan sesuatu dalam diri Dara.

Ia tidak ingin Juno pergi. Ia tidak ingin kehilangan seseorang yang selama ini menjadi tempatnya pulang dalam diam. Tapi ia juga tidak ingin menahan seseorang mengejar impiannya—ia pernah melakukan itu pada Raka, dan ia tahu rasanya.

Setelah berpikir cukup lama, Dara menjawab pelan:

“Aku ingin kamu bahagia, Jun.”

Juno mengerutkan dahi. “Itu… nggak menjawab apa-apa.”

Dara tersenyum kecil. “Kalau kamu tanya hatiku, aku ingin kamu tetap di sini. Karena… aku nyaman sama kamu. Karena kamu orang yang selalu ada waktu aku jatuh. Karena kamu bikin aku merasa tidak sendirian.”

Juno terdiam, menatapnya tanpa berkedip.

“Tapi…” Dara melanjutkan, “kalau kamu tanya logikaku, aku ingin kamu pergi. Kamu berhak dapat masa depan yang lebih besar.”

Juno menghela napas panjang. “Jadi… yang mana?”

Dara menatap mata Juno. Mata yang selalu hangat, sabar, dan ada untuknya.

“Hati,” jawabnya lirih. “Aku jawab pakai hati.”

Juno tersenyum—senyum yang perlahan melebar, penuh kelegaan dan kebahagiaan. Senyum paling tulus yang pernah Dara lihat.

“Kalau begitu,” kata Juno, “aku tetap di sini.”

Dara terkejut. “Jun—”

Juno menggeleng. “Aku udah lama tahu apa yang bikin aku bahagia. Bukan studio besar, bukan kota besar. Tapi berada dekat dengan orang yang aku peduli.”

Dara merasa matanya panas. “Aku belum siap untuk cinta baru… aku takut mengecewakan kamu.”

Juno menatapnya lembut, lebih lembut dari cahaya senja. “Aku nggak minta kamu membalas apa-apa sekarang. Kita jalan pelan-pelan. Aku cuma ingin kamu tahu… kamu tidak perlu menghadapi apa pun sendirian.”

Untuk pertama kalinya sejak hatinya hancur, Dara merasa tidak takut.

Ia tersenyum. “Terima kasih, Jun.”

Juno tertawa kecil. “Sudah lama aku pengen lihat kamu tersenyum kayak gitu.”

Dara mengusap pipinya. “Kayak apa?”

“Kayak seseorang yang akhirnya menemukan cahaya setelah badai.”

Mata mereka bertemu. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Tidak ada deklarasi cinta besar.

Hanya dua hati yang perlahan menemukan jalan menuju satu sama lain.

Dan senja itu—senja yang dulu menjadi saksi patah hatinya—kini menjadi saksi sebuah awal baru.

Awal yang datang dari keberanian untuk melepaskan, dan keberanian untuk membuka diri lagi.



Bagian 3 Klik Disini 

No comments:

Post a Comment