Aku Melihat Dian Berpacaran di Pojok Kantin
Siang itu kantin kampus sedang ramai seperti biasa. Bau mie goreng dan kopi sachet bercampur jadi satu. Aku baru saja keluar dari kelas ekonomi yang membosankan ketika mataku menangkap sesuatu yang membuat langkahku berhenti.
Di pojok kantin, di balik deretan tanaman hias dan meja panjang yang jarang dipakai, kulihat Dian—ya, Dian yang itu—duduk berdua dengan seorang cowok. Mereka tertawa pelan, saling menatap, seolah dunia cuma milik mereka berdua.
Aku berdiri agak jauh, pura-pura sibuk mencari tempat duduk. Tapi mataku terus tertuju ke arah mereka.
Cowok itu menatap Dian dengan senyum yang tidak biasa. Bukan senyum teman kuliah. Bukan juga senyum basa-basi. Itu senyum orang yang jatuh cinta.
Dan Dian… dia terlihat bahagia.
Senyumnya lepas, matanya berbinar. Aku belum pernah melihat dia tersenyum seperti itu padaku.
Kupandangi sendok di tanganku—entah kenapa terasa berat.
Dulu aku sempat berpikir Dian mungkin menyukaiku. Kami sering kerja kelompok bareng, pulang bareng, bahkan kadang dia curhat soal keluarganya. Tapi mungkin aku salah baca.
Angin siang berhembus pelan, membawa aroma gorengan dan perih yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Aku meneguk es teh yang tiba-tiba terasa hambar.
Dari jauh, Dian tertawa lagi. Suaranya seperti nyanyian kecil yang dulu menenangkan, tapi kini malah membuat dadaku sesak.
Aku tahu, mulai hari itu, pojok kantin bukan lagi tempat biasa.
Di sana, aku kehilangan sesuatu yang tidak pernah benar-benar kumiliki.
No comments:
Post a Comment