Hilangnya Sebuah Harapan – Bagian 3: Ketika Bayangan Itu Kembali
Sudah hampir dua minggu sejak Juno mengatakan bahwa ia akan tetap tinggal. Dua minggu yang terasa seperti membawa Dara sedikit demi sedikit keluar dari kabut panjang dalam hidupnya. Hari-hari mereka sederhana—perjalanan kecil mencari objek foto, makan di warung pinggir jalan, duduk lama di dermaga tanpa perlu banyak bicara.
Namun ketenangan itu retak pada suatu sore yang tampak biasa.
Dara baru saja selesai memotret produk UMKM di sebuah rumah warga ketika ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat seluruh tubuhnya membeku.
Raka.
Nama yang selama ini berusaha ia lupakan. Nama yang sudah ia buang bersama liontin bulan sabit ke laut.
Tapi di situ—berkedip dingin di layar—nama itu kembali.
“Dara? Kamu kenapa?” Juno mendekat setelah melihat ekspresi Dara berubah. “Mukamu tiba-tiba pucat.”
Dara menelan ludah. “Aku… ini. Ada pesan.”
“Dari siapa?”
Dara tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan ponselnya.
Juno melihat nama di layar, dan dalam sepersekian detik, ketenangan di wajahnya runtuh. Tatapannya mengeras, tapi ia mengembalikan ponsel itu tanpa berkata apa-apa.
“Buka aja,” kata Juno pelan.
Dara mengingat napas, lalu membuka pesan itu.
Raka:
Dara… aku di kotamu.
Tolong temui aku. Aku butuh bicara.
Dara merasa dadanya membeku dan panas dalam waktu yang sama. Kebingungan melonjak—antara marah, takut, penasaran, dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Juno berdiri diam di sampingnya. Tidak menekan. Tidak memaksa. Tapi dari rahangnya yang mengencang, Dara tahu Juno ikut tersayat.
“Dia… minta ketemu,” kata Dara, suaranya bergetar tipis.
“Dan kamu mau?” suara Juno tenang—atau berusaha terlihat tenang.
“Aku… nggak tahu.” Dara memejamkan mata. “Bagian dari diriku ingin pergi saja. Tapi ada bagian lain… yang butuh jawaban.”
Juno menatapnya lama. “Kalau kamu butuh jawaban, aku ngerti.”
Dara membuka mata, menatapnya. “Kamu nggak marah?”
“Marah,” kata Juno jujur. “Tentu saja marah. Tapi aku… juga tahu kamu nggak bisa maju tanpa menyelesaikan belakangmu.”
Ada rasa hangat yang muncul. Tapi juga ada sesuatu lain—takut bahwa ketenangan yang baru dibangun bisa hancur sewaktu-waktu.
Pertemuan itu terjadi di sebuah kafe kecil dekat alun-alun kota. Dara datang dengan jantung berat seperti batu. Raka sudah duduk di meja pojok, mengenakan jaket jeans dan kemeja putih, tampak lebih kurus dibanding terakhir kali Dara melihatnya.
Ketika ia berdiri, senyumnya tampak rapuh. “Dara…”
Dara menahan napas. Suara itu—akrab tapi menyakitkan.
“Kenapa kamu datang?” tanya Dara langsung. Ia tidak ingin basa-basi.
Raka menghela napas panjang. “Aku… aku salah. Aku sadar itu. Aku pergi tanpa bilang apa-apa, dan aku tahu aku nyakitin kamu. Tapi aku kembali karena aku—”
“Jangan,” potong Dara cepat. “Jangan bilang karena kamu menyesal. Jangan bilang kamu ingin semuanya kembali seperti dulu.”
Raka terdiam. Tatapannya gelisah. “Aku cuma… aku rindu kamu. Dan aku ingin menjelaskan kenapa aku pergi.”
Dara menahan tangis yang tak pernah ia izinkan keluar selama berbulan-bulan. “Kenapa? Kenapa kamu tinggal pergi? Kenapa tidak bilang apa-apa, bahkan satu pesan pun tidak?”
Raka menggenggam ujung meja. “Aku takut, Dar. Takut menghancurkan harapanmu. Takut bilang kalau aku… merasa tidak siap melanjutkan hubungan kita.”
“Lalu kamu memilih pergi begitu saja?” suara Dara meninggi, emosi yang selama ini terkubur akhirnya pecah. “Membiarkan aku menunggu, mencari, berharap?”
“Aku bodoh,” kata Raka, matanya berkaca-kaca. “Setiap hari aku nyesel. Aku lihat postinganmu… dan aku sadar aku sudah kehilangan seseorang yang berarti. Makanya aku ke sini. Aku ingin memperbaiki semua.”
Dara memejamkan mata. Ada bagian dari dirinya yang dulu sangat ingin mendengar kalimat itu. Tapi sekarang—yang ia rasakan justru gemuruh kemarahan dan ketakutan yang bercampur jadi satu.
“Raka…” Dara membuka mata perlahan. “Aku bukan orang yang sama lagi.”
“Aku tahu,” kata Raka cepat. “Tapi kita bisa mulai dari awal.”
Nama itu muncul dalam benak Dara—pelan tapi jelas.
Juno.
Wajahnya ketika menunggu Dara menjawab pesan Raka. Cara ia diam karena tidak ingin mengikat Dara dengan perasaannya sendiri. Sikapnya yang selalu ada tanpa banyak kata.
Dara menggigit bibir. “Ada seseorang di hidupku sekarang.”
Raka menegang. “Siapa?”
“Juno.”
Warna di wajah Raka memudar. “Juno? Asistenmu itu? Pria yang selalu nempel sama kamu?”
“Dia bukan asisten,” kata Dara tegas. “Dia teman. Orang yang… selalu ada waktu aku hancur karena kamu.”
Raka menghela napas tajam. “Jadi kamu pilih dia?”
Pertanyaan itu seperti pisau yang dilempar begitu saja. Tapi sebelum Dara sempat menjawab, sebuah suara muncul dari belakang mereka.
“Kalau kamu mau menyalahkan seseorang, salahkan diri kamu sendiri.”
Dara membalik cepat.
Juno berdiri di pintu kafe.
Ia tidak berteriak. Tidak marah. Tapi matanya tajam—tenang, namun penuh tensi, seperti seseorang yang sedang menahan badai dalam dirinya.
“Juno…” Dara berbisik. “Kenapa kamu ke sini?”
“Aku nggak mau kamu sendirian,” jawab Juno. “Dan aku nggak mau dia menyalahkan kamu seolah kamu yang berubah.”
Raka berdiri, wajahnya keras. “Ini urusan kami berdua.”
“Dara bukan barang,” kata Juno pelan namun tegas. “Dia punya hak menentukan siapa yang boleh bicara di hidupnya.”
Tensi ruangan meningkat. Beberapa pelanggan mulai melirik.
Dara menelan ludah. “Juno… tolong.”
Juno menatapnya sejenak. Tatapannya melunak. “Aku nggak akan ikut campur. Aku cuma… nggak tahan lihat kamu sendirian menghadapi dia.”
Raka mendengus. “Kamu pikir kamu siapa di hidupnya?”
Pertanyaan itu menghantam Juno seperti pukulan. Tapi ia tidak mundur. “Aku orang yang tinggal ketika kamu pergi.”
Kata itu—tinggal—membuat dada Dara bergetar.
Raka memandang Dara. “Benarkah? Kamu lebih memilih dia?”
Dara mengeluarkan napas gemetar. “Raka… aku tidak tahu. Aku masih bingung. Kamu datang begitu tiba-tiba.”
Juno seperti tertusuk kata-kata itu, tapi ia hanya menutup mata sejenak. “Aku ngerti. Kamu masih butuh waktu.”
“Dan kamu,” Raka menatap Juno tajam. “Kamu bikin dia bingung.”
Juno tersenyum pahit. “Kalau kehadiranku bikin kamu panas, berarti kamu masih merasa punya hak atas dia.”
Dara berdiri cepat, tubuhnya gemetar. “Stop! Aku bukan hadiah untuk diperebutkan!”
Keduanya terdiam.
Dara menarik napas panjang, air mata jatuh tanpa ia sadari. “Aku… aku butuh waktu. Aku nggak bisa memutuskan apa pun sekarang. Kamu,” ia menatap Raka. “Aku perlu proses untuk menerima kehadiranmu lagi. Dan kamu,” ia menatap Juno. “Jangan terlalu menjaga aku sampai aku merasa tidak bisa bernapas.”
Juno menunduk, sakit tapi mengerti. “Oke.”
Raka memalingkan wajah, rahangnya mengeras. “Aku tunggu jawabannya, Dara.”
Dara melangkah mundur satu langkah. “Aku nggak janji apa-apa.”
Malam itu, Dara pulang sendirian. Juno menawarkan mengantar, tapi ia menolak. Ia butuh ruang untuk berpikir, untuk bernapas, untuk menenangkan hatinya yang terasa seperti kapal diterjang badai.
Setibanya di rumah, ia duduk di lantai, memeluk lutut, dan untuk pertama kalinya setelah lama, ia menangis keras—bukan karena patah hati, tapi karena confusion, tension, dan ketakutan untuk melukai seseorang yang ia mulai sayangi.
Di luar sana, dua pria menunggu jawabannya.
Dan Dara tahu satu hal:
Kadang cinta bukan tentang memilih siapa yang membuatmu bahagia —
tapi siapa yang tidak membuatmu hancur lagi.
Sambungan Klik DISINI
No comments:
Post a Comment