Hilangnya Sebuah Harapan – Bagian 3: Ketika Masa Lalu Mengetuk Pintu
Tiga minggu setelah Juno memutuskan untuk tetap tinggal, hidup Dara mulai terasa stabil kembali. Ia bekerja, ia berkarya, dan ia belajar membuka dirinya sedikit demi sedikit. Juno sering datang membantu, kadang hanya sekadar menemani minum kopi sambil membahas foto-foto yang baru ia ambil.
Perlahan-lahan, Dara merasa dirinya pulih. Luka itu sudah tidak setajam dulu. Ada ruang baru yang perlahan terisi oleh kehadiran Juno yang selalu hangat dan sabar.
Namun hidup punya caranya sendiri untuk menguji hati yang baru saja sembuh.
Dan ujian itu datang pada suatu sore yang tidak ia duga.
Dara baru selesai memotret produk untuk klien di halaman studionya ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan pagar. Dara tidak langsung mengenalinya — sampai pintu mobil itu terbuka.
Raka turun.
Raka.
Pria yang dulu ia cintai setengah mati.
Pria yang membuatnya runtuh.
Pria yang tak pernah ia sangka akan kembali.
Dara terpaku. Udara seperti berhenti bergerak.
Raka berjalan mendekat, wajahnya lebih kurus namun matanya tetap tajam seperti dulu. Ada rasa bersalah yang begitu jelas di tatapannya.
“Dara...” suaranya rendah dan pelan. “Aku… akhirnya menemukan kamu.”
Dara menarik napas gemetar. “Kamu… ngapain ke sini?”
Raka menatap sekeliling, seolah ingin memastikan mereka berdua saja. “Aku mau ngomong. Kita harus bicara.”
Dara menggeleng pelan. “Aku rasa… nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.”
“Dara, tolong.” Raka maju selangkah, dan langkah itu saja sudah cukup untuk membuat dada Dara menegang. “Aku minta kesempatan. Cuma buat jelasin.”
“Untuk apa? Kamu pergi tanpa kata, Raka. Kamu hilang begitu saja.”
“Aku tahu.” Raka menunduk, memegang kepalanya. “Dan aku nyesel. Sangat nyesel.”
Dara menggigit bibir. Luka lama yang sudah ia kubur, tiba-tiba terasa terbuka kembali.
“Aku minta maaf, Dara,” suara Raka pecah. “Aku salah ninggalin kamu. Semuanya kacau waktu itu. Aku pengecut. Tapi aku kembali. Karena kamu satu-satunya yang nggak bisa aku lupain.”
Dara menutup mata. Kata-kata itu… dulu adalah doa yang selalu ia inginkan. Dan kini ketika ia mendengarnya, anehnya tidak lagi terasa seperti mimpi indah.
Justru terasa seperti beban.
Sebelum Dara sempat menjawab, sebuah suara datang dari dalam studio.
“Dara, kamu butuh bantuan—?”
Juno muncul membawa tripod, dan langsung membeku ketika melihat Raka.
Raka menatapnya dari kepala sampai kaki. “Kamu siapa?”
Juno menatap Dara. Dara balas menatapnya—gelisah, bingung, takut. Dan dari tatapan itu, Juno langsung tahu.
Ia tahu siapa Raka.
Ia tahu kenapa Dara tampak seperti kehilangan suara.
Ia tahu luka lama itu masih ada, meski samar.
Juno meletakkan tripod perlahan. “Aku Juno,” katanya tenang. “Temannya Dara.”
Raka mengangkat alis sinis. “Teman?”
Juno menahan diri agar tidak terpancing. Ia menatap Dara seolah bertanya kamu baik-baik saja?, dan Dara memberi anggukan kecil—meskipun jelas ia tidak baik-baik saja.
Raka tersenyum miring. “Baiklah. Teman. Aku cuma datang untuk bicara. Gak ada hubungannya sama kamu.”
Juno tidak membalas. Ia tahu ini bukan saatnya berdebat. Tetapi ia juga tidak pergi.
Ia berdiri di dekat Dara—cukup dekat untuk memberi kekuatan, tapi cukup jauh agar tidak terlihat menguasai.
Raka memperhatikan itu, dan matanya mengeras. “Jadi… begini ya sekarang?”
“Raka, jangan mulai,” ucap Dara pelan tapi tegas.
“Kalau begitu,” Raka menatap Dara lagi, “aku minta waktu. Cuma sebentar. Beri aku kesempatan untuk jelasin.”
Dara menelan ludah. Ia menatap Juno. “Jun… boleh kamu tunggu di dalam sebentar?”
Juno menatapnya lama. Ada rasa khawatir yang dalam, tapi ia mengangguk. “Aku di dalam kalau kamu butuh apa pun.”
Ketika Juno menutup pintu studio, sesuatu dalam hati Dara seperti ditarik ke dua arah berbeda.
Dan perang itu baru saja dimulai.
Raka dan Dara duduk di bangku kayu depan studio.
Raka memulai, suaranya berat. “Dara… aku nggak minta kita balik seperti dulu. Aku tahu aku salah. Tapi aku nggak bisa biarin kamu pergi dari hidupku sepenuhnya.”
Dara menatap tanah. “Kamu yang pergi duluan.”
“Aku… waktu itu kacau. Kerjaanku berantakan, keluarga bermasalah, aku nggak tahu harus cerita dari mana. Aku merasa bukan apa-apa buat kamu.”
“Jadi kamu hilang begitu aja?” tanya Dara getir.
“Aku takut jadi beban kamu,” Raka menjawab cepat. “Dan aku bodoh. Aku sadar sekarang. Kamu adalah rumahku, Dara.”
Dara terdiam lama.
Dulu, kata-kata itu akan membuatnya menangis bahagia. Tapi sekarang… rasanya berbeda. Ia merasakan sakit, iya. Tapi di bawah itu semua, ada kehangatan lain—seseorang lain—yang telah menggantikan rasa kehilangan.
Raka memperhatikan wajah Dara, lalu bertanya pelan:
“Dara… apa kamu masih sayang sama aku?”
Pertanyaan itu menusuk. Dara tidak langsung menjawab. Ia butuh waktu bernapas. Ia butuh waktu memahami rasa yang kini kacau.
Dan sebelum ia sempat membuka mulut…
Pintu studio terbuka.
Juno keluar lagi, membawa jaket Dara. “Dara, kamu kedinginan.”
Gerakannya sederhana. Tapi perhatian itu terasa. Terlihat.
Raka menatapnya tajam. “Kamu selalu ada, ya?”
Juno menunduk sedikit. “Kalau Dara butuh, iya.”
Raka berdiri. “Jadi kamu yang gantiin aku?”
Juno menggeleng. “Aku nggak gantiin siapa pun. Aku cuma ada di saat dia jatuh. Itu saja.”
Raka mendekat, nadanya naik. “Dan kamu pikir kamu lebih baik dari aku?”
“Bukan urusan aku,” jawab Juno pelan.
“Tapi kamu dekat sama dia. Kamu suka sama dia. Aku tahu itu dari cara kamu lihat dia.”
Juno tidak membantah.
Dara menatap keduanya dengan jantung berdegup kencang.
Raka mendekatkan wajahnya pada Juno. “Kalau kamu bikin dia jatuh cinta lagi, kamu siap tanggung jawab?”
Juno menghela napas, bukan karena takut, tapi karena tidak ingin memanas-manasi situasi.
“Tanggung jawab apa?” Juno menatap balik. “Tanggung jawab untuk tidak pergi? Untuk tidak menghilang? Untuk tetap ada? Ya. Aku siap.”
Raka terdiam.
Dan Dara… tidak tahu kenapa, tapi hatinya bergetar.
Karena jawaban itu jelas. Jujur. Dan penuh kepastian yang dulu tidak pernah ia dapatkan.
Raka akhirnya memalingkan wajah.
“Aku akan kembali besok,” katanya pada Dara. “Aku gak selesai ngomong.”
Raka masuk ke mobilnya dan pergi tanpa menunggu jawaban.
Dara berdiri di sana, tercekat dalam badai emosinya sendiri.
Setelah mobil itu menghilang, Juno mendekat. “Kamu… oke?”
Dara menunduk, suaranya serak. “Aku… nggak tahu.”
Juno menatapnya penuh pengertian. “Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Kalau kamu butuh aku pergi sebentar, bilang saja. Aku nggak akan marah.”
Dara menggeleng cepat. “Jangan pergi.”
Juno terkejut.
Dara menatapnya, mata berkaca-kaca. “Jangan pergi, Jun. Aku belum tahu apa yang aku rasain… tapi aku tahu kalau kamu pergi sekarang, aku bakal takut lagi.”
Juno pelan-pelan mengangguk, wajahnya melembut. “Aku di sini. Aku tetap di sini.”
Dan untuk pertama kalinya… Dara merasa siap menghadapi masa lalu.
Karena kali ini, ia tidak berdiri sendirian.
Sambungannya Klik Disini
No comments:
Post a Comment