Bagian 5: Emosi yang Akhirnya Meledak
Hujan turun deras malam itu. Kota kecil yang biasanya tenang berubah menjadi kabur oleh air yang menampar tanah. Dara berdiri di balkon rumahnya dengan tangan gemetar. Sejak pertemuan di kafe, pikirannya tidak pernah berhenti memutar ulang setiap kata, setiap tatapan, setiap luka yang kembali terbuka.
Raka kembali.
Juno terluka.
Dara terjepit di tengah pusaran perasaan yang tidak ia harapkan.
Ia menunduk. Air hujan bercampur dengan air matanya.
“Kenapa semuanya harus kembali berantakan?” bisiknya.
Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya semakin menegang.
Raka. Lagi.
Raka:
Aku di depan rumahmu.
Dara tersentak. Ia buru-buru turun ke bawah, membuka pintu—dan benar, Raka berdiri di bawah hujan tanpa payung, wajahnya pucat dan kacau.
“Kamu…” Dara ternganga. “Kenapa datang begini?”
Raka tersenyum pahit. “Karena aku nggak mau kamu menjauh. Aku nggak rela kamu diambil orang begitu saja, Dar.”
Dara merasakan ledakan kecil di dadanya. “Bukan ‘diambil’, Rak. Kamu yang pergi. Kamu yang meninggalkan aku.”
“Aku salah,” suara Raka pecah. “Tapi aku mau memperbaiki semuanya. Aku nggak bisa tidur sejak kamu bilang kamu dekat sama Juno.”
Tatapannya berubah gelap. “Apa kamu benar-benar suka sama dia?”
Dara menegang. “Aku… nggak tahu. Aku bingung.”
“Bingung?” Raka melangkah lebih dekat. “Kita bersama bertahun-tahun, Dar. Dan kamu bilang bingung karena seseorang yang baru muncul setelah aku pergi?”
Kalimat itu menusuk Dara seperti jarum.
“Aku bukan milik siapa pun,” kata Dara dengan suara gemetar. “Dan kamu nggak berhak menuntut apa-apa.”
Raka tertawa kecil, pahit. “Jadi kamu pilih dia?”
Dan lagi, Dara tidak menjawab. Diamnya justru membuat Raka semakin tersulut.
“Tuhan…” Raka menarik rambutnya, frustrasi. “Jadi benar? Kamu beneran jatuh hati sama dia?”
“Rak, tolong—”
“Jangan panggil aku begitu!” Raka membentak tiba-tiba. “Dara, aku kehilangan kamu karena kebodohan. Tapi aku nggak siap kalau kamu pindah ke dia!”
Dara memundurkan diri. Hatinya panas, kepalanya sakit, dan emosinya kacau.
“Kenapa kamu selalu datang ketika aku mulai bisa bernapas lagi?” teriak Dara. “Kenapa? Setelah semua luka yang kamu buat, setelah aku belajar untuk berdiri sendiri lagi… kamu kembali dan berharap semuanya sama?”
Raka terdiam, kehilangan kata-kata.
“Kenapa kamu baru berjuang sekarang?” Dara memukul dadanya sendiri. “Kenapa bukan dulu, saat aku menangis setiap malam menunggu kabar kamu?”
“Dara…” Raka mendekat, mencoba menyentuh tangannya. “Aku minta maaf. Aku cuma—”
“Tidak!” Dara mundur, air matanya mengalir deras. “Kamu datang terlalu terlambat.”
Raka terpukul. “Jadi aku nggak punya kesempatan?”
Dara menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku nggak tahu! Aku betul-betul… nggak tahu.”
Dan saat ia menangis, langkah kaki cepat terdengar dari luar pagar.
Dara menoleh.
Juno.
Juno berdiri basah kuyup di bawah hujan, napasnya seolah habis karena berlari. Wajahnya tegang, matanya liar mencari Dara.
“Dara!” Juno mendekat. “Kamu nggak apa-apa? Aku lihat lampu rumah mati, aku takut kamu pingsan atau—”
Juno berhenti ketika melihat Raka.
Keduanya saling menatap. Hening. Seperti dua badai yang bertemu.
Raka mengangkat dagunya. “Kenapa kamu di sini?”
“Aku khawatir,” jawab Juno dengan rahang mengeras. “Dara sendirian setelah pertengkaran tadi.”
Raka tertawa pendek. “Khawatir? Atau kamu takut aku kembali merebut dia?”
Juno menahan diri sekuat tenaga. “Aku bukan mau rebut apa pun. Aku cuma… peduli.”
“Peduli,” Raka mengulang kata itu sambil mendengus. “Peduli atau memanfaatkan saat aku nggak ada?”
Wajah Juno mengeras. “Kalau aku ingin memanfaatkan, aku sudah melakukannya sejak dulu, waktu dia paling hancur karena kamu.”
“Berhenti!” Dara bersuara keras, suaranya pecah. “Aku… aku nggak kuat dengar ini!”
Ia berjalan masuk ke halaman, memegang kepala, hujan membasahi seluruh tubuhnya. “Aku nggak mau kalian bertengkar karena aku!”
Raka dan Juno terdiam sejenak, tapi tensi di antara mereka semakin menebal seperti awan gelap.
“Dara…” Juno mendekati, tapi Raka menghadang dengan bahu.
“Jangan sentuh dia,” kata Raka dingin.
Juno menatap Raka tajam. “Kamu nggak punya hak mengatur hidupnya.”
“Aku mantannya.”
“Justru itu masalahnya.” Suara Juno rendah, dalam. “Kamu masa lalu.”
Raka mengepalkan tangan. “Dan kamu pikir kamu masa depannya?”
Juno tidak menjawab. Tapi ketegasan di matanya berkata lebih banyak.
Dan di saat itu…
Dara meledak.
“Hentikan!!”
Keduanya terkejut, langkah mereka berhenti.
Dara menangis di tengah hujan, tubuhnya gemetar seperti ingin runtuh.
“Kalian pikir aku tidak tersiksa? Kalian pikir aku senang kalian berdua berebut aku seperti barang?”
Raka menunduk. Juno membeku.
“Aku sudah terlalu lama menahan semuanya sendiri. Luka dari Raka. Perasaan baru pada Juno. Rasa takut mengulang masa lalu. Rasa bersalah membuat seseorang berharap…”
Suara Dara pecah sepenuhnya.
“…dan kalian berdua hanya menambah beban yang sudah berat ini.”
Juno akhirnya bersuara sangat pelan. “Maaf.”
Raka juga berbisik. “Aku… aku salah.”
Dara mengusap wajahnya. “Aku butuh waktu. Kalian dengar? Aku butuh waktu. Sendirian. Tanpa kalian muncul tiba-tiba. Tanpa tekanan. Tanpa konflik.”
“Dara…” Juno mendekat selangkah. “Aku bisa—”
“Juno.” Dara menatapnya penuh rasa bersalah. “Aku butuh kamu pergi dulu.”
Juno seperti ditusuk. Matanya melembut, tapi ada luka yang dalam. “Kalau itu yang kamu mau… aku pergi.”
Ia mundur beberapa langkah. Hujan menutupi air matanya.
“Jaga diri, Dar,” katanya lirih. “Kalau kamu butuh aku… aku selalu ada.”
Ia pergi tanpa menoleh lagi.
Raka bernapas berat. “Dara, aku—”
“Termasuk kamu, Rak.”
Raka membeku. “Oh…”
Dara menatapnya, mata merah, hati lelah. “Aku nggak bisa apa-apa kalau kamu terus menekan aku begini. Jadi tolong… kasih waktu. Jangan hubungi aku dulu.”
Raka membuka mulut, ingin membantah—tapi tatapan Dara menghentikannya.
Akhirnya, ia hanya berkata pelan, hampir tak terdengar, “Baik.”
Dan ia juga pergi.
Dara berdiri sendirian di halaman rumahnya. Hujan mengguyur tanpa belas kasihan. Tapi rasa di dalam dirinya jauh lebih deras dari hujan mana pun.
Ia akhirnya masuk, menutup pintu perlahan. Rumahnya terasa sepi, tapi untuk pertama kalinya, kesepian itu terasa… perlu.
Ia butuh ruang.
Ia butuh diam.
Ia butuh menemukan dirinya sendiri sebelum memilih siapa pun.
Di balik pintu, Dara berbisik pada dirinya sendiri:
“Cinta bukan cuma tentang siapa yang datang… tapi tentang siapa yang membuatku tidak runtuh.”
Malam itu, untuk pertama kalinya, Dara tidak memilih siapa pun.
Ia memilih dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment