Wednesday, November 19, 2025

Ruang Tanpa Jendela (버창 없는 방)

Ruang Tanpa Jendela (버창 없는 방)


EPISODE 1 — Pintu Ikseon-dong

Hujan turun deras, menciptakan gema kecil di gang sempit Ikseon-dong.
Han Jina, mahasiswi seni 23 tahun, pulang larut setelah shift di kafe.

Di ujung gang, ia melihat pintu kayu tua yang tak pernah ada sebelumnya.
Simbol seperti goresan kuku menghiasi kayunya.

Ketika disentuh, dunia membeku, napas hilang, dan pintu itu terbuka sendiri.
Kegelapan di dalamnya bernapas—dan berbisik:

“Akhirnya… kau kembali.”

EPISODE 2 — Makhluk dari Gelap

Sebuah siluet tinggi kurus muncul dari kegelapan.
Matanya putih polos seperti marmer retak.

“Sudah lama, Jina,” katanya.
“Kau datang padaku ketika dunia menolaknya.”

Jina gemetar. “Aku tidak kenal kau.”

Siluet itu mendekat, suaranya seperti kayu yang patah.
“Kau lupa—karena aku menghapus ingatan itu bersamaan dengan rasa sakitmu.”

Kegelapan di belakangnya menggeliat seperti hidup

EPISODE 3 — Kilasan DaeguJina dipaksa melihat masa kecilnya di Daegu:

— Dirinya kecil, terkunci di kamar gelap.
— Tubuhnya menggigil ketakutan pada ayah yang pemarah.
— Suara lembut dari kegelapan memanggilnya.
— “Kau ingin tenang? Berikan saja tanganmu.”

Dan ia menyentuh bayangan itu.

Jina berteriak ketika ingatan itu menghantam kesadarannya.

EPISODE 4 — Harga Ketenangan

Makhluk itu berkata lembut:

“Karena kesepakatan itu, kau tak pernah merasakan lapar, lelah, atau sakit. Itu hadiahku.”

Jina meraba dadanya yang berdegup kencang.

“Hadiah ada harganya,” lanjut makhluk itu.
“Dan waktumu sudah hampir habis.”

Ia mengulurkan tangan panjang kurus itu ke arah Jina.

EPISODE 5 — Lorong Tanpa Ujung

Kegelapan di balik pintu berubah menjadi lorong panjang, dingin seperti ruang bawah tanah Gwanghwamun.

Bayangan-bayangan bergantungan di dinding seperti lukisan kabur.
Beberapa berbisik, memanggil nama Jina.
Beberapa memohon.
Beberapa menyeringai.

Jina mencoba berlari—tapi lorong memanjang tanpa ujung.

Di belakang, makhluk itu mengejar tanpa suara.

EPISODE 6 — Bayangan yang Terlupakan

Bayangan-bayangan di lorong mulai membentuk wajah-wajah:

— Wajah ibunya yang pernah meninggalkannya.
— Wajah teman sekolah yang pernah membully.
— Wajahnya sendiri… menangis, seperti baru terjaga dari mimpi buruk.

“Hidupmu tenang karena aku menyimpan semua rasa sakitmu di tempat ini,” kata makhluk itu.

Jina baru sadar:
Ruang ini adalah penjara dari seluruh traumanya, terkumpul dan berwujud gelap.

EPISODE 7 — Ruang Tanpa Jendela

Mereka tiba di ruangan besar… benar-benar tanpa jendela.

Dindingnya terbuat dari bayangan padat.
Di tengah ruangan, ada kursi kayu tua.

“Duduklah,” kata makhluk itu. “Di sinilah kau dulu kubentuk ulang. Dan di sinilah kau akan kembali menjadi milikku.”

Jina mundur. “Aku tidak mau!”

Makhluk itu tersenyum lebar, mulutnya menyentuh sampai pipi.

“Kau tak punya pilihan.”

EPISODE 8 — Pengorbanan Rahasia

Terdengar suara langkah dari kegelapan.
Muncul seorang pria—Kang Minwoo, teman kuliah Jina yang diam-diam menyukainya.

Ia tampak pucat, basah oleh air hujan… dan takut.

“Aku melihatmu masuk ke gang itu… aku—aku mengikutimu,” katanya gemetar.

Makhluk itu tertawa.

“Bagus. Sumber waktu tambahan.”

Makhluk itu berusaha meraih Minwoo.

“Jina! Lari!” teriak Minwoo.

Untuk pertama kalinya, Jina merasa ketakutan yang nyata—hal yang dulu hilang darinya.

EPISODE 9 — Pertukaran

Makhluk itu berhasil menangkap Minwoo dengan tangan panjangnya.

“Berikan aku dia,” kata makhluk itu. “Dan kau bebas.”

Jina membeku.
Minwoo menatapnya dengan mata memohon.
Suara bayangan-bayangan di dinding bergema:

“Tukar dia… tukar dia… kau akan bebas…”

Namun Jina tiba-tiba teringat masa kecilnya—saat ia sendiri memohon bantuan dan tak ada yang datang.

“Aku tidak akan menyerahkan siapapun lagi!” teriak Jina.

Ia meraih tangan Minwoo dan menariknya sekuat tenaga.

Makhluk itu mengaum, dan ruangan mulai retak seperti kaca pecah.

EPISODE 10 — Pintu yang Masih Menunggu

Jina dan Minwoo berlari ke lorong yang runtuh.
Pintu di ujung tampak terbuka sedikit, seperti memberi jalan keluar.

Makhluk itu berteriak:
“Kau akan kembali! Ketenanganmu akan habis! Kau tak bisa hidup tanpa rasa sakitmu!”

Jina menoleh sekali.

“Aku lebih memilih rasa sakit… daripada hidup di kegelapanmu.”

Ia menutup pintu dengan sisa tenaga.

Gang Ikseon-dong kembali sunyi.
Namun pintu kayu itu kini ada di dinding, tidak hilang.

Kadang, Jina terbangun tengah malam dengan dada sesak… karena ia mulai merasakan lapar, sakit, takut—hal-hal yang dulu menghilang.

Dan kadang… ia mendengar suara dari balik pintu itu:

“Jina… waktumu belum selesai…”

Pintu itu tetap diam.
Namun rasanya seperti menunggu seseorang
—mungkin Jina…
mungkin orang lain—
untuk membukanya lagi.



No comments:

Post a Comment