BAB 7 – POHON DUKU YANG MENYIMPAN WAKTU
Bulan April 1985.
Langit Condet tampak cerah, tapi di hati Rafi dan Nisa, awan mulai menggantung berat.
Ujian akhir sudah di depan mata, dan setelah itu, mereka akan berpisah: Rafi berencana melanjutkan kuliah ke Bandung, sementara Nisa belum tahu apakah diizinkan orang tuanya untuk kuliah atau tidak.
Sekolah mulai ramai dengan kegiatan kelulusan. Spanduk bertuliskan “Selamat Jalan Kelas Tiga” terpampang di halaman depan, dan suara tawa teman-teman sekelas terdengar di mana-mana. Namun, di antara semua keriuhan itu, ada dua orang yang justru lebih banyak diam.
Rafi jarang menulis surat lagi. Ia sibuk mempersiapkan berkas untuk kuliah.
Nisa lebih banyak menatap jendela kelas, seolah sedang mencari sesuatu yang hilang di antara rindang pohon duku di belakang sekolah.
Suatu sore, saat jam pelajaran terakhir selesai, Nisa memutuskan untuk pergi ke kebun duku itu sendirian.
Langit mulai jingga, dan burung-burung kecil beterbangan pulang ke sarang.
Ia duduk di bawah pohon yang dulu mereka ukir namanya, menyentuh bekas goresan itu dengan jemari pelan.
R + N = 1984
Ukiran itu masih jelas, meski sudah mulai tertutup lumut.
“Janji tetap sahabat, meski waktu berubah…” gumam Nisa pelan, membaca kalimat yang dulu ia tulis sendiri.
Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara langkah kaki.
“Masih inget tempat ini?” suara Rafi.
Nisa menoleh. Rafi berdiri sambil membawa tas di pundak dan senyum yang sama seperti dulu, meski matanya tampak lelah.
“Kamu datang juga,” katanya pelan.
Rafi duduk di sampingnya. “Aku hampir lupa, tapi tadi waktu beres-beres buku, aku nemu potongan surat dari kamu. Yang dulu kamu tulis waktu hujan sore itu.”
Nisa menatapnya. “Masih kamu simpan?”
“Tentu. Surat itu yang bikin aku kuat ngerjain ujian-ujian ini,” kata Rafi sambil tertawa kecil. “Lucu ya, kita dulu sering surat-suratan. Sekarang malah jarang ngomong.”
Nisa tersenyum getir. “Mungkin karena waktu udah mulai jalan lebih cepat dari dulu.”
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma manis buah duku yang matang di dahan.
Rafi menatap ukiran pohon itu lama. “Aku pengin ukir lagi, tapi nggak tahu harus nulis apa.”
Nisa menatap ke bawah. “Mungkin nggak usah ditulis, Raf. Kadang kenangan lebih baik dibiarkan tinggal di hati.”
Hening sesaat.
Lalu Rafi berkata pelan, “Aku akan ke Bandung minggu depan. Aku diterima di politeknik sana.”
Nisa menahan napas. “Kamu nggak bilang-bilang.”
“Aku nggak tahu gimana ngomongnya. Aku takut kamu sedih.”
Nisa menunduk.
“Sedih memang,” katanya jujur. “Tapi aku juga bangga. Kamu pantas dapet yang terbaik.”
Rafi menatapnya lama, seolah ingin menghafal wajah itu.
“Nisa, kalau suatu saat kamu lewat sini, dan pohon ini masih berdiri, ingatlah satu hal.”
“Apa?”
“Bahwa di bawah pohon ini, pernah ada dua anak yang saling tulus, meski nggak sempat bilang semuanya.”
Nisa menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai mengalir.
“Rafi…” katanya lirih. “Kalau aku bisa minta satu hal, aku cuma pengin waktu berhenti sebentar aja. Biar kita nggak harus mikirin perpisahan.”
Rafi tersenyum tipis. Ia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan menyerahkannya pada Nisa.
“Kalau kamu rindu, simpan ini. Biar kamu tahu, aku nggak pernah benar-benar pergi.”
Nisa menerima sapu tangan itu, memeluknya erat.
“Terima kasih, Rafi.”
Sore itu mereka duduk lama tanpa bicara lagi. Matahari perlahan tenggelam di balik kebun salak, meninggalkan cahaya oranye yang lembut di wajah mereka berdua.
Ketika senja benar-benar berubah jadi malam, mereka berdiri.
“Selamat tinggal, Nisa.”
“Selamat jalan, Rafi.”
Dan di antara desir angin Condet yang mulai dingin, dua remaja itu melangkah pergi ke arah yang berbeda — meninggalkan pohon duku yang diam, menyimpan rahasia mereka dalam ukiran yang akan bertahan puluhan tahun
No comments:
Post a Comment