Monday, November 10, 2025

Kisah Cinta di SMAN 51 Condet (8)

 Bab 8 – Surat dari Bandung, di mana Rafi dan Nisa mulai berkomunikasi lewat surat setelah lulus. Tapi jarak, kesibukan, dan rindu mulai menguji janji mereka.


BAB 8 – SURAT DARI BANDUNG

Rafi baru saja menjejakkan kaki di Bandung.
Udara kota itu lebih dingin dibanding Condet, dan jalan-jalannya ramai oleh kendaraan yang tak ada habisnya. Ia tinggal di kos sederhana dekat kampus, dengan kamar kecil yang hanya muat tempat tidur, meja belajar, dan gitar klasiknya yang selalu menemani.

Di Condet, Nisa duduk di kamarnya yang masih sama, menatap jendela. Pohon salak dan duku di halaman rumahnya tampak rimbun, tapi ada yang hilang — Rafi tak lagi ada untuk menemaninya berjalan pulang atau tertawa di bawah hujan sore.

Hari-hari pertama di Bandung, Rafi sibuk dengan orientasi kampus, mata kuliah, dan teman-teman baru.
Namun malamnya, ia selalu menulis surat untuk Nisa.

Nisa,
Bandung berbeda. Jalanannya ramai, tapi rasanya sepi tanpa kamu. Aku nggak tahu apa nanti kamu bakal baca ini dengan senyum atau sedih. Tapi aku cuma mau bilang, aku baik-baik saja. Dan aku selalu inget janji kita di pohon duku.
— Rafi

Nisa menerima surat itu seminggu kemudian. Ia tersenyum sambil menahan rindu yang menggantung. Ia membalas:

Rafi,
Aku senang baca suratmu. Setiap kata yang kamu tulis bikin aku merasa kamu dekat, walau jauh. Di Condet, aku sering ke pohon duku, duduk di sana, dan bayangin kamu.
— Nisa

Mereka saling berkirim surat hampir setiap minggu.
Namun seiring waktu, kesibukan mulai memecah konsentrasi mereka. Rafi harus menghadapi tugas-tugas kuliah yang menumpuk, sedangkan Nisa membantu ibunya di rumah dan kadang harus bolak-balik sekolah untuk les tambahan.

Suatu hari, Nisa menulis surat panjang tapi tak sempat dikirim karena harus menghadiri pertemuan keluarga. Surat itu tertinggal di meja, dan tak sampai ke tangan Rafi.

Rafi, di Bandung, menunggu balasan. Hari demi hari berlalu, surat balasan tak kunjung datang.
Hatinya mulai gundah. “Apa Nisa marah?” gumamnya di kamar kos, memandang gitar klasiknya.
Ia menulis surat lain, hati-hati dan panjang, berharap Nisa membacanya.

Sementara itu, Nisa menatap surat yang tertinggal di meja. Ia menyesal, tapi tak bisa memaksa waktu untuk kembali.
Hari-hari berlalu, komunikasi mereka mulai jarang. Rindu yang dulu hangat kini berubah jadi kekhawatiran.

Suatu sore di Bandung, Rafi duduk di tepi Sungai Cikapundung. Ia menatap air yang mengalir, sama seperti hatinya yang terasa terusik.
“Aku nggak mau kehilangan Nisa… tapi kenapa suratnya lama banget dibalas?” bisiknya.

Di Condet, Nisa menatap kebun belakang rumahnya. Pohon duku tua itu tetap berdiri, seolah menunggu mereka. Ia menulis surat lain, tapi hujan tiba-tiba turun, dan amplop itu basah sebagian. Kata-kata di dalamnya sulit terbaca.

Mereka kini terjebak oleh jarak, kesibukan, dan hal-hal kecil yang tak pernah mereka duga.
Tetapi satu hal tetap sama: pohon duku di belakang sekolah mereka, tetap diam, menyimpan semua janji dan rahasia.

Dan malam itu, Rafi menatap bulan dari jendela kosnya, berkata pelan,
“Semoga Nisa baik-baik saja. Semoga suratku sampai padanya, sebelum semuanya terlambat.”


🕊️ Bab 8 selesai (≈700 kata)

Bab ini menekankan bagaimana jarak dan kesibukan mulai menguji cinta mereka.
Surat yang hilang, balasan yang tertunda, dan rindu yang menggebu-gebu menjadi inti konflik emosional.


No comments:

Post a Comment