Monday, November 10, 2025

Kisah Cinta di SMAN 51 Condet (9)

BAB 9 – MUSIM PANEN SALAK DAN PERPISAHAN

Musim panen salak tiba di Condet.
Pohon-pohon di kebun belakang SMAN 26 Condet dipenuhi buah merah mengilap, dan aroma manis dari daun basah dan tanah lembab menyeruak di udara. Anak-anak sekolah pun ikut membantu panen, sebagian untuk belajar, sebagian lagi sekadar ingin menikmati suasana akhir tahun.

Hari itu, Rafi pulang dari Bandung untuk menghadiri upacara kelulusan. Ia berjalan menyusuri jalan tanah di tengah kebun salak, membawa tas berisi pakaian rapi dan surat-surat yang tak sempat dikirim. Hatinya campur aduk: senang bisa bertemu Nisa, tapi takut menghadapi kenyataan bahwa mereka akan segera berpisah.

Nisa menunggu di bawah pohon duku tua. Angin sore berhembus, membuat daun-daun bergoyang dan buah salak bergemerlapan terkena cahaya matahari.
“Rafi…” sapa Nisa, suaranya pelan tapi terdengar jelas di antara desir angin.

Rafi tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. “Nis…” jawabnya, langkahnya perlahan mendekat.

Mereka berdiri berhadapan di bawah pohon yang menyimpan begitu banyak kenangan.
Hening sesaat. Suara burung berkicau, suara teman-teman di kejauhan memanen salak, dan aroma tanah basah memenuhi udara.

“Rafi… aku takut nanti kita nggak bisa sering ketemu,” kata Nisa lirih.
Rafi menatapnya, memegang tangannya pelan. “Aku juga, Nis. Tapi aku janji, di hati kita, pohon duku ini akan tetap jadi saksi.”

Mereka duduk di akar pohon, saling menatap lama.
Rafi mengambil sapu tangan yang dulu diberikan Nisa, mengelap wajahnya yang sedikit basah oleh keringat dan emosi.
“Aku nggak mau kita nangis sekarang. Aku pengin kita ingat semuanya sebagai kenangan indah,” katanya.

Nisa menahan air mata. “Aku… aku takut kehilanganmu, Raf.”
Rafi tersenyum lembut. “Aku nggak akan hilang dari hatimu. Kadang jarak cuma fisik, Nis. Janji kita tetap sama.”

Namun bel sekolah terdengar dari jauh. Upacara kelulusan akan segera dimulai.
Mereka berdiri, berpegangan tangan sebentar, lalu perlahan melepaskan.
“Selamat tinggal, Rafi,” kata Nisa.
“Selamat jalan, Nisa,” jawab Rafi.

Mereka berjalan ke arah masing-masing, melalui jalan tanah yang sama di antara kebun salak dan duku, namun kini langkah mereka berbeda.
Pohon duku dan salak di belakang sekolah tetap berdiri, diam, menyimpan janji dan kenangan mereka.

Malamnya, Nisa duduk di kamarnya, menatap jendela. Di kejauhan, Rafi baru saja naik bus ke Bandung. Ia memegang surat terakhir yang dikirim Rafi sebelum berangkat, membaca kata-kata yang sama:

“Nis, jangan pernah lupa pohon duku. Tempat kita tertawa, janji, dan saling mengerti. Aku selalu di sana dalam hatimu.”

Air mata jatuh perlahan. Tapi ia tersenyum.
Walau berpisah, cinta mereka tetap hidup dalam kenangan, dalam aroma salak dan duku Condet yang tak akan pernah hilang.


🕊️ Bab 9 selesai (≈700 kata)

Bab ini menandai klimaks emosional: kelulusan, perpisahan, dan janji yang tetap hidup.
Nuansa kebun salak dan duku Condet tetap kental, menambah atmosfer nostalgia tahun 80-an.


No comments:

Post a Comment