Sunday, November 9, 2025

Kisah Cinta di SMAN 51 Condet


Bab 4 – HUJAN, RADIO, DAN TITIK RINDU

Hujan turun sejak jam pelajaran ketiga. Langit Condet siang itu kelabu, dan aroma tanah basah bercampur dengan bau kapur dari papan tulis. Dari jendela kelas, Rafi bisa melihat barisan pohon salak dan duku di belakang sekolah menunduk terkena air hujan.

Nisa duduk di bangku depan, menulis pelan di buku catatannya. Suara hujan di atap seng sekolah seperti lagu yang tak berjudul, tapi membuat hati Rafi berdebar aneh.

“Kayaknya hujan nggak bakal reda sampai sore,” kata Dimas, teman sebangkunya.
Rafi hanya mengangguk, matanya tetap tertuju ke arah Nisa.

Jam pulang tiba. Beberapa siswa memilih berteduh di koridor, sebagian lain nekat berlari di bawah hujan menuju halte.
Rafi berdiri di depan pintu kelas, memandangi jalan tanah di luar sekolah yang sudah berubah jadi genangan air.

Lalu, di ujung lorong, Nisa muncul. Rambutnya sedikit berantakan, seragamnya sudah basah sebagian.
“Kamu belum pulang juga?” tanya Nisa, sambil menatap hujan di luar.
“Enggak, nunggu reda,” jawab Rafi. “Sepedaku nggak punya pelindung dari hujan.”
Nisa tersenyum. “Kamu aja, hujan nggak bisa ngalahin sepeda ontel kamu, Raf.”

Mereka tertawa kecil. Suasana terasa hangat meski udara dingin.
Tak lama, Nisa berkata, “Kalau gitu, aku ikut nunggu juga. Males kehujanan sendirian.”

Mereka duduk di tangga depan kelas. Hujan turun deras, menimbulkan suara deras di atap seng dan ranting-ranting yang menggigil.
Rafi membuka tasnya, mengeluarkan dua permen kopi. “Nih, biar nggak bosan.”
Nisa menerima dan tersenyum. “Terima kasih. Ini permen kesukaan aku.”

Hening sesaat. Hanya suara hujan dan detak jantung yang terasa makin cepat.
Di antara dingin dan rintik hujan, Rafi memberanikan diri bertanya,
“Nisa… kamu pernah ngerasa rindu?”

Nisa menatap langit mendung. “Rindu sama siapa?”
“Entahlah. Rindu aja, tanpa tahu buat siapa.”

Nisa menatap Rafi pelan. “Kalau aku… mungkin pernah. Rindu pada sesuatu yang belum sempat jadi apa-apa.”

Kata-kata itu menggantung di udara, seolah mengunci waktu.
Hujan makin deras. Rafi membuka sepedanya yang disandarkan di dinding dan memayunginya dengan mantel plastik seadanya.
“Kalau hujannya masih begini, aku antar kamu pulang. Gak apa-apa, nanti kita kehujanan bareng,” katanya pelan.

Nisa menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baiklah. Tapi kalau aku sakit, kamu yang tanggung jawab, ya.”

Mereka tertawa, lalu berangkat di bawah hujan.
Rafi mengayuh perlahan melewati jalan berlumpur yang diapit kebun rambutan dan duku di kiri-kanan. Nisa menunduk, memeluk tas di dadanya agar tidak basah.

Udara dingin, tapi dada mereka hangat.
Air hujan membasahi wajah, tapi mereka tertawa sepanjang jalan.

Di pertigaan kecil menuju rumah Nisa, hujan mulai reda. Matahari sore muncul samar di balik awan.
Nisa turun dari sepeda, menatap Rafi dengan mata bening.
“Terima kasih, Rafi. Hari ini… aku nggak bakal lupa.”

Rafi mengangguk. “Aku juga.”

Lalu tanpa rencana, Nisa membuka buku kecil dari tasnya, menulis cepat di selembar kertas, dan memberikannya pada Rafi.
“Buka di rumah, ya.”

Rafi mengangguk dan menonton Nisa berjalan masuk ke gang kecil di antara kebun salak, langkahnya ringan, tapi meninggalkan kesan dalam.

Malamnya, di kamarnya yang sederhana, Rafi membuka surat itu.

“Rafi,
Aku nggak tahu kenapa setiap hujan aku selalu pengin ngobrol sama kamu.
Mungkin karena kamu bikin semua hal yang biasa jadi terasa istimewa.
Terima kasih sudah mau kehujanan bareng hari ini.
— Nisa”

Rafi menatap kertas itu lama-lama. Di luar, suara radio ayahnya memutar lagu lawas milik Chrisye: ‘Hujan turun lagi, di bawah payung kelabu…’

Dan di saat itu, Rafi tahu — perasaan yang ia simpan selama ini bukan lagi sekadar kagum.
Itu sudah jadi rindu yang nyata

Bersambung ke episode

No comments:

Post a Comment