Sunday, November 9, 2025

Kisah Cinta di SMAN 51 Condet (3)


BAB 3 – SEPEDA ONTEL DAN HUJAN SORE

Sore di Condet tahun 1986 masih punya aroma yang sulit dilupakan—aroma tanah basah, daun salak, dan suara burung pipit yang pulang ke sarang.
Di sepanjang jalan kecil menuju rumah Nisa, kiri kanan masih penuh kebun. Ada pohon duku yang buahnya menggantung rendah, pohon salak yang daunnya runcing berbaris rapat, dan pohon rambutan yang cabangnya melengkung ke jalan, seolah ingin menyambut siapa pun yang lewat.

Rafi menuntun sepeda ontelnya di bawah cahaya senja. Sepeda itu peninggalan ayahnya, warna hitam kusam, rantainya kadang berdecit kalau dikayuh terlalu cepat. Tapi buat Rafi, sepeda itu saksi dari semua perjalanan kecil yang berarti—terutama setiap kali mengantar Nisa pulang.

Sore itu, langit Condet mulai berawan.
Nisa baru saja keluar dari gerbang sekolah, memeluk map cokelat berisi hasil tugas menggambar. Ia melihat Rafi berdiri di dekat warung bakso Pak Maman, tersenyum malu-malu sambil melambaikan tangan.

“Tumben nggak langsung pulang, Raf?”
“Nunggu kamu,” jawabnya pelan.
Nisa tertawa kecil, “Kamu ini, kalau denger teman-teman tahu, bisa dikira pacar, loh.”
“Emang salah ya?” sahut Rafi cepat.
Nisa terdiam sejenak, wajahnya memerah. “Enggak, cuma… ya aneh aja. Aku belum pernah dianterin cowok.”

Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalan sempit di antara kebun salak yang daunnya berdesir diterpa angin. Dari kejauhan, terdengar suara gamelan sayup-sayup dari rumah warga yang sedang latihan hajatan. Anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, membawa layangan yang tersangkut di ranting.

Rafi mengayuh sepeda pelan, sementara Nisa duduk di jok belakang sambil memegang map di dada. Angin sore membawa wangi tanah dan suara jangkrik.
“Enak ya, lewat sini,” kata Nisa. “Kayak nggak di Jakarta.”
“Iya, aku suka suasananya. Di Bogor juga adem, tapi di sini lebih… hidup.”
“Kenapa?”
“Karena ada kamu.”

Nisa menepuk bahu Rafi pelan. “Dasar gombal.”
Tapi dalam hati, ia senang.
Senyumnya tak bisa disembunyikan, bahkan saat langit mulai berubah warna keabu-abuan.

Lima menit kemudian, rintik hujan turun perlahan.
Awalnya hanya titik-titik kecil di tanah, tapi lalu deras.
Rafi menepikan sepeda ke gubuk bambu di pinggir kebun rambutan, tempat petani biasa menaruh keranjang panen. Mereka berteduh di sana, sambil mendengar suara hujan yang menimpa daun-daun.

Nisa menatap keluar gubuk, melihat butiran hujan menetes dari ujung daun salak.
“Wangi tanahnya enak ya,” katanya pelan.
Rafi mengangguk. “Iya, wangi yang cuma bisa ketemu kalau hujan di kebun kayak gini.”

Beberapa detik mereka diam. Hanya suara hujan, degup jantung, dan denting air yang menetes dari atap daun kelapa.
Nisa menatap Rafi, matanya lembut. “Rafi…”
“Ya?”
“Kalau nanti kita nggak satu sekolah lagi, kamu masih inget aku nggak?”

Rafi menatapnya lama, menelan ludah.
“Kalau aku lupa sama kamu, artinya aku udah nggak jadi aku lagi.”

Nisa menunduk. “Jangan ngomong gitu, nanti aku nangis.”
“Kenapa?”
“Soalnya… aku juga takut lupa sama kamu.”

Rafi menarik napas panjang. Di luar, hujan makin deras.
Ia melepas jaket abu-abunya dan menyampirkan ke pundak Nisa.
“Udah, jangan dingin-dingin. Habis hujan, aku anter pulang.”

Nisa menggenggam ujung jaket itu, menatap Rafi pelan. “Kamu baik banget.”
Rafi hanya tersenyum, lalu menatap keluar.
Di matanya, hujan tak hanya air yang jatuh dari langit—tapi juga sesuatu yang tumbuh di dalam dada, pelan-pelan, tanpa bisa dijelaskan.

Ketika hujan mereda, mereka kembali naik sepeda.
Udara dingin menusuk kulit, tapi hati mereka hangat. Jalan tanah becek, roda sepeda kadang terpeleset sedikit, membuat Nisa memegangi bahu Rafi lebih erat.
Sesekali mereka tertawa, terutama saat ada genangan air besar yang tak bisa dihindari.

Sampai akhirnya mereka tiba di persimpangan kecil menuju rumah Nisa.
Langit mulai oranye keemasan, sisa hujan membuat daun-daun memantulkan cahaya sore.
Nisa turun dari sepeda, menatap Rafi lama-lama.
“Terima kasih, Rafi. Aku suka hari ini.”
“Kenapa?”
“Karena hujan, karena sepeda ontel ini… dan karena kamu.”

Rafi tak bisa berkata apa-apa.
Ia hanya tersenyum, lalu berkata pelan, “Aku juga.”

Saat Nisa melangkah pergi, Rafi menatap punggungnya sampai hilang di balik pagar bambu.
Ia sadar, sore itu bukan sekadar perjalanan pulang.
Itu awal dari sesuatu yang mulai tumbuh—perlahan, lembut, tapi pasti.

Dan di kebun Condet yang masih hijau, di bawah langit sisa hujan, cinta mereka mulai berakar

       Bersambung.: Klik

Hujan, Radio dan Rindu


No comments:

Post a Comment