Batavia atau Betawi adalah penduduk asli Jakarta dengan ciri
utamanya mempergunakan bahasa Betawi sebagai bahasa ibu, tinggal dan
berkembang di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Terbentuk sekitar abad
ke-17, merupakan hasil dari campuran beberapa suku bangsa seperti Bali,
Sumatera, China, Arab dan Portugis. Dari latar belakang sosial dan
budaya yang berbeda-beda, mereka mencoba mencari identitas bersama dalam
bentuk lingua franca bahasa
Melayu yang akhirnya terbentuk masyarakat homogen secara alamiah.
Suku bangsa ini biasa juga disebut Orang Betawi atau Orang Jakarta (atau
Jakarte menurut logat Jakarta). Nama "Betawi" berasal dari kata
"Batavia". Nama yang diberikan oleh Belanda pada zaman penjajahan
dahulu.
Jakarta, yang terletak di pinggir
pantai atau pesisir, dalam proses perjalanan waktu menjadi kota dagang,
pusat administrasi, pusat kegiatan politik, pusat pendidikan,
dan disebut kota budaya. Proses perkembangan itu amat panjang, sejak
lebih dari 400 tahun yang lalu. Sejak masa itulah Jakarta menjadi arena
pembauran budaya para pendatang dari berbagai kelompok etnik. Mereka
datang dengan berbagai sebab dan kepentingan, dan tentunya dengan latar
belakang budaya masing-masing, sehingga menjadi suatu kebudayaan baru
bagi penghuni Kota Jakarta, dan pendukung kebudayaan baru itu menyebut
dirinya "Orang Betawi."
Anggota suku bangsa atau bangsa
asing (dari luar Jakarta) tadi mulai berdiam di Jakarta pada waktu yang
berbeda-beda. Pendatang paling dahulu adalah orang Melayu, Jawa, Bali,
Bugis, Sunda, diikuti oleh anggota-anggota suku bangsa lainnya. Orang
asing yang datang sejak awal adalah orang Portugis, Cina, Belanda, Arab,
India, Inggris, dan Jerman. Unsur-unsur budaya kelompok etnik atau
bangsa itu berasimilasi dan melahirkan budaya baru yang tampak dalam
bahasa, kesenian, kepercayaan, cara berpakaian, makan, dan lain-lain.
Sejarah Suku Betawi:
Sebutan suku, orang, kaum Betawi, muncul dan mulai populer ketika
Mohammad Husni Tamrin mendirikan perkumpulan "Kaum Betawi" pada
tahun 1918. Meski ketika itu "penduduk asli belum dinamakan Betawi, tapi
Kota Batavia disebut "negeri" Betawi. Sebagai kategori
"suku" dimunculkan dalam sensus penduduk tahun 1930. Asal mula Betawi
terdapat berbagai pendapat, yang mengatakan berasal dari kesalahan
penyebutan kata Batavia menjadi Betawi. Ada pula cerita lain, yaitu pada
waktu tentara Mataram menyerang Kota Batavia yang diduduki oleh
Belanda, tentara Belanda kekurangan peluru. Belanda tidak
kehilangan akal, mereka mengisi meriam-meriamnya dengan kotoran mereka
dan menembakkan meriam-meriam itu ke arah tentara Mataram sehingga
tersebar bau tidak enak, yakni bau kotoran orang-orang Belanda. Sambil
berlarian tentara Mataram berteriak-teriak: Mambu tai! Mambu tai! Artinya bau tahi! bau tahi! Dari kata mambu tai itulah asal mula nama Betawi.
Menurut Bunyamin Ramto, masyarakat
Betawi secara geografis dibagi dua bagian, yaitu Tengah dan Pinggiran.
Masyarakat Betawi Tengah meliputi wilayah yang dahulu menjadi Gemente
Batavia minus Tanjung Priok dan sekitarnya atau meliputi radius kurang
lebih 7 km dari Monas, dipengaruhi kuat oleh budaya Melayu dan Agama
Islam seperti terlihat dalam kesenian Samrah, Zapin dan berbagai macam
Rebana. Dari segi bahasa, terdapat banyak perubahan vokal a dalam suku kata akhir bahasa Indonesia menjadi e, misal guna menjadi gune.
Masyarakat Betawi Pinggiran,
sering disebut orang sebagai Betawi Ora yang dikelompokkan menjadi dua
bagian yaitu bagian utara dan selatan. Kaum Betawi Ora dalam beberapa
desa di sekitar Jakarta berasal dari orang Jawa yang bercampur dengan
suku-suku lain. Sebagian besar mereka itu petani yang menanam padi,
pohon buah dan sayur mayur. Bagian utara meliputi Jakarta Utara, Barat,
Tangerang yang dipengaruhi kebudayaan Cina, misalnya musik
Gambang Kromong, tari Cokek dan teater Lenong. Bagian Selatan meliputi
Jakarta Timur, Selatan, Bogor, dan Bekasi yang sangat dipengaruhi kuat
oleh kebudayaan Jawa dan Sunda. Sub dialeknya merubah ucapan
kata-kata yang memiliki akhir kata yang berhuruf a dengan ah, misal gua menjadi guah.
Penduduk Betawi:
Komunitas penduduk di Jawa (Pulau Nusa Jawa) yang berbahasa Melayu,
dikemudian hari disebut sebagai orang Betawi. Orang Betawi ini disebut
juga sebagai orang Melayu Jawa. Merupakan hasil percampuran antara
orang-orang Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Makasar, Ambon, Manado, Timor,
Sunda, dan mardijkers (keturunan
Indo-Portugis) yang mulai menduduki kota pelabuhan Batavia sejak awal
abad ke-15. Di samping itu, juga merupakan percampuran darah
antara berbagai etnis: budak-budak Bali, serdadu Belanda dan serdadu
Eropa lainnya, pedagang Cina atau pedagang Arab, serdadu Bugis atau
serdadu Ambon, Kapten Melayu, prajurit Mataram, orang Sunda dan
orang Mestizo.
Sementara itu mengenai manusia Betawi
purbakala, adalah sebagaimana manusia pulau Jawa purba pada
umumnya, pada zaman perunggu manusia Betawi purba sudah mengenal
bercocok tanam. Mereka hidup berpindah-pindah dan selalu mencari tempat
hunian yang ada sumber airnya serta banyak terdapat pohon
buah-buahan. Mereka pun menamakan tempat tinggalnya sesuai dengan sifat
tanah yang didiaminya, misalnya nama tempat Bojong, artinya "tanah
pojok".
Dalam buku Jaarboek van Batavia
(Vries, 1927) disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri dari
suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain dari
Nusantara juga dari Eropa, Cina, Arab, dan Jepang. Keturunan mereka
disebut inlanders, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai
pembantu rumah tangga, kusir, supir, pembantu kantor, atau opas.
Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahan meski gajinya
kecil. Lain-lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan
sandal, tukang kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan kue, atau
berkeliling kota dengan "warung dorongnya". Sementara sebutan wong Melayu atau orang Melayu lebih merujuk kepada bahasa pergaulan (lingua franca)
yang dipergunakan seseorang, di samping nama "Melayu" sendiri memang
sudah menjadi sebutan bagi suku bangsa yang berdiam di Sumatra Timur,
Riau, Jambi dan Kalimantan Barat.
Posisi wanita Betawi di bidang
pendidikan, perkawinan, dan keterlibatan dalam angkatan kerja relatif
lebih rendah apabila dibandingkan dengan wanita lainnya di Jakarta dan
propinsi lainnya di Indonesia. Keterbatasan kesempatan wanita
Betawi dalam pendidikan disebabkan oleh kuatnya pandangan hidup tinggi
mengingat tugas wanita hanya mengurus rumah tangga atau ke dapur,
disamping keterbatasan kondisi ekonomi mereka. Situasi ini diperberat
lagi dengan adanya prinsip kawin umur muda masih dianggap penting,
bahkan lebih penting dari pendidikan. Tujuan Undang-Undang
Perkawinan untuk meningkatkan posisi wanita tidak banyak
memberikan hasii. Anak yang dilahirkan di Jakarta, tidak mempunyai
hubungan dengan tempat asal di luar wilayah bahasa Melayu, dan tidak
mempunyai hubungan kekerabatan atau adat istiadat dengan kelompok etnis
lain di Jakarta.
Mata pencaharian orang Betawi
dapat dibedakan antara yang berdiam di tengah kota dan yang tinggal di
pinggiran. Di daerah pinggiran sebagian besar adalah petani
buahbuahan, petani sawah dan pemelihara ikan. Namun makin lama areal
pertanian mereka makin menyempit, karena makin banyak yang dijual untuk
pembangunan perumahan, industri, dan lain-lain. Akhirnya para petani ini
pun mulai beralih pekerjaan menjadi buruh, pedagang, dan lain-lain.
Dalam sistem kekerabatan, pada
prinsipnya mereka mengikuti garis keturunan bilineal, artinya garis
keturunan pihak ayah atau pihak ibu. Adat menetap sesudah nikah sangat
tergantung pada perjanjian kedua pihak orang tua sebelum pernikahan
dilangsungkan. Ada pengantin baru yang menetap di lingkungan kerabat
suami (patrilokal) dan ada pula yang menetap di lingkungan kerabat istri
(matrilokal). Secara umum orang tua cenderung menyandarkan hari tuanya
pada anak perempuan. Mereka menganggap anak perempuan akan lebih telaten
mengurus orang tua dari pada menantu perempuan.
Tatanan sosial orang Betawi
lebih didasarkan pada senioritas umur, artinya orang muda menghormati
orang yang lebih tua. Hal ini dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila seseorang bertemu dengan orang lain, yang muda mencium tangan
orang yang lebih tua. Pada hari-hari Lebaran, orang yang didahulukan
adalah orang tua atau yang dituakan. Memang orang Betawi juga cukup
menghormati haji, orang kaya, orang berpangkat, asalkan mereka memang
"baik" dan bijaksana, atau memperhatikan kepentingan masyarakat.
Latar belakang jumlah penduduk
atau pendukung budaya Betawi, pada masa lalu maupun sekarang tidak
diketahui secara pasti. Catatan yang berasal dari tahun 1673 menunjukkan
bahwa jumlah penduduk (dalam tembok kota) Jakarta adalah 27.068 jiwa.
Jumlah ini terdiri atas orang "merdeka" dan "budak", yang banyaknya
hampir seimbang. Penduduk di luar tembok kota berjumlah 7.286 jiwa.
Mereka yang berada dalam tembok kota terdiri atas orang Mardijkers,
Cina, Belanda, Moor, Jawa, Bali, Peranakan Belanda, dan Melayu.
Golongan yang jumlahnya terbesar adalah Mardijkers (5.362 jiwa) dan yang
terkecil Melayu (611 jiwa). Menurut proyeksi lebih baru tentang jumlah
orang Betawi di Jakarta dan sekitarnya, jumlah orang Betawi pada tahun
1930 (menurut sensus) adalah 418.894 jiwa, dan pada tahun 1961 adalah
655.400 jiwa.
Kebudayaan Betawi:
Merupakan sebuah kebudayaan yang dihasilkan melalui percampuran antar
etnis dan suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, Belanda,
dan bangsa-bangsa lainnya. Dari benturan kepentingan yang
dilatarbelakangi oleh berbagai budaya. Kebudayaan Betawi mulai terbentuk
pada abad ke-17 dan abad ke-18 sebagai hasil proses asimilasi
penduduk Jakarta yang majemuk. Menurut Umar Kayam, kebudayaan Betawi ini
sosoknya mulai jelas pada abad ke-19. Yang dapat disaksikan, berkenaan
dengan budaya Betawi diantaranya bahasa logat Melayu Betawi, teater
(topeng Betawi, wayang kulit Betawi), musik (gambang kromong,
tanjidor, rebana), baju, upacara perkawinan dan arsitektur perumahan.
Berdasarkan pemakaian logat
bahasa, budaya Betawi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1)
Betawi Pesisir, termasuk Betawi Pulo; 2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi
Pinggir; 4) Betawi Udik, daerah perbatasan dengan wilayah budaya
Sunda. Jika pemetaan budaya disusun berdasarkan intensitas transformasi
budaya Barat, maka terbagi menjadi tiga, yaitu: 1) Betawi Indo;
2) Betawi Tengah/Kota; 3) Betawi Pesisir, Pinggir, Udik.
Dalam kebudayaan Betawi terlihat
jelas pengaruh kebudayaan Portugis, terutama dalam bahasa. Rupanya
bahasa Portugis pernah mempunyai pengaruh yang berarti di kalangan
masyarakat penghuni Jakarta. Pengaruh Portugis terasa pula dalam
seni musik, tari-tarian, dan kesukaan akan pakaian hitam. Budaya
Portugis ini masuk melalui orang Moor (dari kata Portugis Mouro, artinya
"muslim"). Pengaruh Arab itu tampak dalam bahasa, kesenian dan tentunya
dalam budaya Islam umumnya. Budaya Cina terserap terutama dalam bentuk
bahasa, makanan dan kesenian. Dalam kesenian, pengaruh budaya Cina
tercermin, misalnya pada irama lagu, alat dan nama alat musik, seperti
kesenian Gambang Rancak. Pengaruh Belanda terasa antara lain dalam
mata pencaharian, pendidikan, dan lain-lain. Hingga saat ini, unsur
budaya asing lain dapat dirasakan di sana sini dalam budaya Betawi.
Kehadiran berbagai anggota suku bangsa
ditandai adanya nama-nama kampung atau tempat di Jakarta yang
menunjukkan asal mereka, misalnya ada Kampung Melayu, Kampung Bali,
Kampung Bugis, Kampung Makasar, Kampung Jawa, Kampung Ambon. Di antara
kelompok-kelompok etnik tersebut di atas, kelompok etnik Melayu
menempati kedudukan yang cukup penting, meskipun jumlah mereka relatif
sedikit dibandingkan oleh orang Bali, Bugis, Cina dan lain-lain.
Pengaruh Melayu menjadi penting karena peranan bahasanya.
Kebiasaan Hidup Masyarakat Betawi:
Gambaran
beberapa kebiasaan hidup berkaitan dengan berkeluarga dan
rumah masyarakat Betawi, khususnya di daerah Jakarta Timur/Tenggara dan
lainnya. Khusus menyoroti berbagai etika yang harus dilaksanakan dalam
hubungan antara pria bujang dengan gadis penghuni rumah. Awalnya
laki-laki akan ngglancong bersama-sama kawannya, berkunjung ke
rumah calon istrinya untuk bercakap-cakap dan bergurau sampai pagi.
Hubungan tersebut tidak dilakukan secara langsung tetapi melalui jendela
bujang atau jendela Cina. Si laki-laki duduk atau tiduran di peluaran (ruang depan) sedangkan si perempuan ada di dalam rumah mengintip dari balik jendela bujang. Perempuan juga tidak boleh duduk di trampa (ambang
pintu). Ada kepereayaan "perawan dilamar urung, laki-laki
dipandang orang", yang artinya perempuan susah ketemu jodoh dan kalau
laki-laki bisa disangka berbuat jahat. Maksudnya, perempuan yang duduk
di atas trampa dianggap memamerkan diri dan dipandang tidak pantas. Sementara apabila laki-laki yang melanggar trampa dapat dianggap sebagai orang yang yang bermaksud jahat.
Muncul juga istilah ngebruk, yaitu apabila laki-laki berani melangkahi trampa rumah
(terutama rumah yang ada anak gadisnya) maka perjaka itu
diharuskan mengawini gadis yang tinggal di rumah tersebut. Karena kalau
tidak dikawinkan akan mendapat nama yang tidak baik dalam masyarakat.
Pengertian ngebruk juga disebut "nyerah diri", dalam arti si
laki-laki datang ke rumah perempuan yang ingin dinikahinya dengan
menyerahkan uang atau pakaian. Hal ini dilakukan jika belum ada
persetujuan terhadap hubungan itu atau karena kondisi keuangan yang
belum memenuhi syarat.
No comments:
Post a Comment