Wednesday, November 19, 2025

Hilangnya Sebuah Harapan



Hilangnya Sebuah Harapan

Senja di tepi pantai Kencana selalu menjadi tempat pelarian bagi Dara. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu duduk memeluk lutut, menatap garis cakrawala yang seakan-akan menghilang di balik warna jingga. Ombak menghempas lembut, namun hatinya tetap bergolak. Hari itu ia kembali menerima kabar yang meruntuhkan seluruh harapan yang selama ini ia perjuangkan.

Raka tidak datang.

Sudah tiga bulan lamanya janji itu tergantung di udara—janji yang dikatakan dengan mata yang bergetar dan suara yang hampir berbisik, seolah takut dirinya sendiri mendengar. “Tunggu aku. Aku akan kembali setelah urusan di Jakarta selesai.” Kata-kata itu terus memantul di kepala Dara, seperti kaset lama yang diputar ulang tanpa henti.

Namun kenyataannya, tidak ada kepulangan. Tidak ada pesan. Tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki yang ia cintai masih memikirkan dirinya.

Dara menggenggam liontin berbentuk bulan sabit yang pernah diberikan Raka. Untuk menerangi hari gelapmu, kata Raka waktu itu. Ironis, pikir Dara. Cahaya itu justru meredup sejak kepergian lelaki itu.


Raka datang ke hidup Dara seperti badai pada musim kemarau—tiba-tiba, tetapi membawa kesejukan yang tidak disangka-sangka. Mereka pertama kali bertemu ketika Dara sedang membuka stan fotografi kecil di festival budaya pantai. Saat itu kamera Dara rusak tepat ketika pelanggan datang beruntun, membuat dirinya panik setengah mati.

Raka, yang kebetulan lewat, menawarkan bantuan. “Aku teknisi kamera. Mau coba aku lihat?” katanya waktu itu.

Dara yang cemas mengangguk cepat. Dengan cekatan, Raka memperbaiki bagian dalam kamera yang macet. Ketika kamera itu menyala kembali, Dara menatapnya dengan mata berbinar.

Sejak hari itu, hubungan mereka berkembang seperti ombak yang berkejaran. Tenang tetapi tidak pernah berhenti bergerak. Mereka menghabiskan waktu memotret matahari terbit, berbagi cerita masa kecil, hingga diam tanpa kata sambil menikmati suara laut.

Namun hubungan itu berubah sejak Raka menerima tawaran pekerjaan besar di Jakarta. Ia ragu, tetapi Dara mendukung. “Pergilah. Kejar mimpimu,” katanya sambil tersenyum, padahal dalam hatinya ia takut kehilangan.

Yang tidak ia sangka, ketakutannya menjadi kenyataan.


Satu bulan setelah kepergian Raka, pesan-pesannya mulai jarang dibalas. Dua bulan kemudian, hanya centang biru tanpa jawaban. Dan kini, di bulan ketiga, kesunyian itu berubah menjadi pisau yang menggores perlahan.

Dara menutup matanya. Setetes air jatuh di pipinya, entah itu dari angin laut atau dari matanya sendiri. Ia tidak ingin menangis lagi, tapi ia tidak bisa menghentikannya.

“Dara?”

Sebuah suara lembut memanggil dari belakang. Dara menoleh. Ternyata itu Juno, sahabat masa kecilnya yang selalu muncul di saat ia hampir menyerah.

“Kamu sendirian lagi?” tanya Juno sambil duduk di sebelahnya.

“Seperti biasa,” jawab Dara lirih.

Juno menatap wajahnya dengan prihatin. “Kamu masih menunggunya?”

Dara tidak menjawab. Keheningan itu cukup sebagai jawaban.

Juno menghela napas panjang. “Aku tahu kamu mencintainya, Ra. Tapi menunggu sesuatu yang tidak pasti bisa menyiksa.”

“Kamu pikir aku nggak tahu?” Dara menoleh dengan mata yang memerah. “Aku cuma… masih berharap.”

Juno menatap liontin di tangan Dara. “Kadang harapan itu bukan hilang. Kita saja yang terlalu erat memegangnya, sampai tidak sadar kalau kenyataannya berbeda.”

Dara menunduk. Kata-kata itu menusuk sekaligus menenangkan. Juno selalu seperti itu—(tepat) saat ia hampir jatuh, sekaligus orang yang sulit ia lihat sebagai lebih dari sekadar sahabat… atau mungkin, orang yang selalu ia abaikan karena hatinya sibuk mengejar sesuatu yang menjauh.


Hari berganti minggu, dan Dara semakin jarang tersenyum. Ia tenggelam dalam pekerjaannya, memaksa dirinya sibuk agar pikirannya tidak melayang pada sosok yang hilang tanpa kabar. Namun setiap kali malam tiba, kesunyian memerangkapnya kembali.

Sampai suatu hari, Dara menerima pesan singkat.

Dari Raka.

Hanya satu kalimat:
“Maafkan aku.”

Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Tidak ada tanda bahwa ia akan kembali.

Anehnya, pesan itu bukan membuatnya lega. Justru semakin membuat hatinya hancur. Maaf tanpa penjelasan seperti kertas kosong—tidak bisa menutupi apapun.

Dara menatap layar ponselnya lama, kemudian meletakkannya di meja. Nafasnya bergetar. Ia merasa seperti seseorang yang berjuang mempertahankan pintu rumah yang porak-poranda setelah badai, hanya untuk menemukan bahwa yang tersisa hanya reruntuhan.

Di saat itulah, Juno datang mengetuk pintu studionya.

“Kamu sudah dengar kabar tentang Raka?” tanya Juno hati-hati.

Dara mengerutkan dahi. “Maksudmu?”

Juno menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus mengatakannya. Akhirnya ia menarik napas. “Dia kembali ke kota. Aku lihat dia di pelabuhan tadi pagi.”

Jantung Dara berdegup keras. Seketika seluruh tubuhnya gemetar. “Dia… kembali?”

Juno mengangguk pelan.

Tanpa banyak pikir, Dara mengambil jaket dan berlari keluar. Kakinya seakan bergerak sendiri, mengikuti harapan yang selama ini ia jaga. Ia ingin jawaban. Ia ingin penjelasan. Ia ingin tahu apakah semua yang ia perjuangkan selama ini masih berarti.

Pelabuhan hanya berjarak lima belas menit berjalan kaki dari studionya, tetapi bagi Dara, jarak itu terasa seperti perjalanan paling panjang dalam hidupnya.

Sesampainya di sana, Dara melihat kerumunan penumpang yang baru turun dari kapal. Ia menelusuri wajah demi wajah, berharap menemukan sosok yang tidak pernah ia lupakan.

Dan akhirnya, ia melihatnya.

Raka berdiri di dekat tangga kapal, membawa ransel besar. Tetapi yang membuat Dara tertegun adalah perempuan yang berdiri di sampingnya—memegang lengannya.

Dara berhenti melangkah.

Dunia seakan membisu.

Raka tidak melihatnya. Atau mungkin ia pura-pura tidak melihat. Perempuan itu tertawa kecil sambil merapikan kerah jaket Raka. Gerakan yang begitu akrab—terlalu akrab.

Lalu Raka menggenggam tangan perempuan itu.

Dara merasa seolah dadanya diremas. Tidak ada amarah. Tidak ada teriakan. Hanya rasa kosong yang menelan seluruh perasaan lain.

Selama ini ia menunggu seseorang yang sudah melanjutkan hidup.

Ia menunggu harapan yang sebenarnya sudah tiada.


Dara mundur perlahan, tidak ingin terlihat. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh dari pelabuhan, kakinya terasa berat seperti membawa seluruh beban kecewa.

Ketika ia sampai di tepi pantai—tempat yang selalu ia datangi saat hatinya kacau—ia merasakan angin laut menerpa wajahnya. Dulu suara ombak menenangkannya. Kini hanya menegaskan bahwa hidup terus bergerak, bahkan ketika hatinya berhenti.

Tidak lama kemudian, Juno menyusulnya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di samping Dara.

“Aku melihatnya,” kata Dara akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Juno menoleh, namun tidak bertanya. Ia membiarkan Dara melanjutkan.

“Tiga bulan aku menunggu jawaban. Tiga bulan aku menggenggam harapan itu… sementara dia sudah menggenggam tangan orang lain.” Dara tertawa kecil, getir. “Aku bodoh ya?”

“Tidak,” jawab Juno pelan. “Kamu hanya mencintai seseorang yang tidak tahu cara menjaga hatimu.”

Dara menunduk, bahunya bergetar. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Raka, ia menangis tanpa menahan diri. Juno mendekat, merangkul bahunya perlahan.

“Kamu tidak kehilangan apa-apa, Dara. Justru kamu akhirnya menemukan kenyataan agar kamu bisa berhenti terluka.”

Dara mengusap air matanya. “Tapi rasanya sakit…”

“Setiap harapan yang hilang memang menyakitkan,” ujar Juno. “Tapi kadang dari kehilangan itulah kita menemukan jalan baru.”

Dara menatap Juno. Mata laki-laki itu penuh ketulusan—sesuatu yang jarang ia perhatikan karena terlalu sibuk menunggu orang lain.

Untuk pertama kalinya, Dara melihat Juno bukan hanya sebagai sahabat yang selalu hadir ketika ia jatuh. Ada sesuatu yang hangat, lembut, dan nyata— sesuatu yang selama ini ia abaikan.

“Juno…” Dara berbisik, tapi kalimatnya terhenti.

Juno tersenyum kecil. “Aku nggak minta kamu membalas perasaan apapun sekarang. Aku cuma mau kamu tahu… kamu tidak sendirian.”

Dara menghela napas panjang. Butuh waktu untuk meluruhkan luka yang dalam, tetapi ia tahu satu hal: ia harus belajar melepaskan.

Liontin bulan sabit itu sudah lama menjadi simbol harapan samar. Dara memegangnya untuk terakhir kali. Lalu, perlahan, ia lepaskan ke laut. Ombak membawa benda kecil itu pergi, hanyut bersama kenangan yang tidak lagi ingin ia pertahankan.

Saat langit berubah oranye keemasan, Dara merasa sesuatu yang berat terangkat dari dadanya. Kehilangan itu masih terasa, tetapi tidak lagi menghancurkan. Justru membuka ruang untuk sesuatu yang baru.

Mungkin bukan hari ini. Mungkin bukan besok. Tapi suatu saat, ia akan kembali mencintai—tanpa menunggu yang tidak pasti.

Di sampingnya, Juno tetap berdiri. Tidak memaksa. Tidak mendesak. Hanya hadir.

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, Dara tersenyum tipis.

Bukan karena harapannya kembali.

Tapi karena ia akhirnya siap membiarkannya hilang.

Klik DISINI lanjutannya

No comments:

Post a Comment