Monday, July 22, 2013

Belajar Fisika Itu Mudah

Fisika (bahasa Yunani: φυσικός (fysikós), "alamiah", dan φύσις (fýsis), "alam") adalah sains atau ilmu tentang alam dalam makna yang terluas. Fisika mempelajari gejala alam yang tidak hidup atau materi dalam lingkup ruang dan waktu. Para fisikawan atau ahli fisika mempelajari perilaku dan sifat materi dalam bidang yang sangat beragam, mulai dari partikel submikroskopis yang membentuk segala materi (fisika partikel) hingga perilaku materi alam semesta sebagai satu kesatuan kosmos.
Beberapa sifat yang dipelajari dalam fisika merupakan sifat yang ada dalam semua sistem materi yang ada, seperti hukum kekekalan energi. Sifat semacam ini sering disebut sebagai hukum fisika. Fisika sering disebut sebagai "ilmu paling mendasar", karena setiap ilmu alam lainnya (biologi, kimia, geologi, dan lain-lain) mempelajari jenis sistem materi tertentu yang mematuhi hukum fisika. Misalnya, kimia adalah ilmu tentang molekul dan zat kimia yang dibentuknya. Sifat suatu zat kimia ditentukan oleh sifat molekul yang membentuknya, yang dapat dijelaskan oleh ilmu fisika seperti mekanika kuantum, termodinamika, dan elektromagnetika.
Fisika juga berkaitan erat dengan matematika. Teori fisika banyak dinyatakan dalam notasi matematis, dan matematika yang digunakan biasanya lebih rumit daripada matematika yang digunakan dalam bidang sains lainnya. Perbedaan antara fisika dan matematika adalah: fisika berkaitan dengan pemerian dunia material, sedangkan matematika berkaitan dengan pola-pola abstrak yang tak selalu berhubungan dengan dunia material. Namun, perbedaan ini tidak selalu tampak jelas. Ada wilayah luas penelitan yang beririsan antara fisika dan matematika, yakni fisika matematis, yang mengembangkan struktur matematis bagi 
 

Fisika teoretis dan eksperimental

Budaya penelitian fisika berbeda dengan ilmu lainnya karena adanya pemisahan teori dan eksperimen. Sejak abad kedua puluh, kebanyakan fisikawan perseorangan mengkhususkan diri meneliti dalam fisika teoretis atau fisika eksperimental saja, dan pada abad kedua puluh, sedikit saja yang berhasil dalam kedua bidang tersebut. Sebaliknya, hampir semua teoris dalam biologi dan kimia juga merupakan eksperimentalis yang sukses.

Gampangnya, teoris berusaha mengembangkan teori yang dapat menjelaskan hasil eksperimen yang telah dicoba dan dapat memperkirakan hasil eksperimen yang akan datang. Sementara itu, eksperimentalis menyusun dan melaksanakan eksperimen untuk menguji perkiraan teoretis. Meskipun teori dan eksperimen dikembangkan secara terpisah, mereka saling bergantung. Kemajuan dalam fisika biasanya muncul ketika eksperimentalis membuat penemuan yang tak dapat dijelaskan dari teori yang ada, sehingga mengharuskan dirumuskannya teori-teori baru. Tanpa eksperimen, penelitian teoretis sering berjalan ke arah yang salah; salah satu contohnya adalah teori-M, teori populer dalam fisika energi-tinggi, karena eksperimen untuk mengujinya belum pernah disusun.

Fisika teoretis dan eksperimental

Budaya penelitian fisika berbeda dengan ilmu lainnya karena adanya pemisahan teori dan eksperimen. Sejak abad kedua puluh, kebanyakan fisikawan perseorangan mengkhususkan diri meneliti dalam fisika teoretis atau fisika eksperimental saja, dan pada abad kedua puluh, sedikit saja yang berhasil dalam kedua bidang tersebut. Sebaliknya, hampir semua teoris dalam biologi dan kimia juga merupakan eksperimentalis yang sukses.

Teori fisika utama

Meskipun fisika membahas beraneka ragam sistem, ada beberapa teori yang digunakan secara keseluruhan dalam fisika, bukan di satu bidang saja. Setiap teori ini diyakini benar adanya, dalam wilayah kesahihan tertentu. Contohnya, teori mekanika klasik dapat menjelaskan pergerakan benda dengan tepat, asalkan benda ini lebih besar daripada atom dan bergerak dengan kecepatan jauh lebih lambat daripada kecepatan cahaya.
Teori-teori ini masih terus diteliti; contohnya, aspek mengagumkan dari mekanika klasik yang dikenal sebagai teori chaos ditemukan pada abad kedua puluh, tiga abad setelah dirumuskan oleh Isaac Newton. Namun, hanya sedikit fisikawan yang menganggap teori-teori dasar ini menyimpang. Oleh karena itu, teori-teori tersebut digunakan sebagai dasar penelitian menuju topik yang lebih khusus, dan semua pelaku fisika, apa pun spesialisasinya, diharapkan memahami teori-teori tersebut.

Teori Cahaya:
Cahaya adalah energi berbentuk gelombang elekromagnetik yang kasat mata dengan panjang gelombang sekitar 380–750 nm.[1] Pada bidang fisika, cahaya adalah radiasi elektromagnetik, baik dengan panjang gelombang kasat mata maupun yang tidak. [2][3] Selain itu, cahaya adalah paket partikel yang disebut foton. Kedua definisi tersebut merupakan sifat yang ditunjukkan cahaya secara bersamaan sehingga disebut "dualisme gelombang-partikel". Paket cahaya yang disebut spektrum kemudian dipersepsikan secara visual oleh indera penglihatan sebagai warna. Bidang studi cahaya dikenal dengan sebutan optika, merupakan area riset yang penting pada fisika modern.
Studi mengenai cahaya dimulai dengan munculnya era optika klasik yang mempelajari besaran optik seperti: intensitas, frekuensi atau panjang gelombang, polarisasi dan fase cahaya. Sifat-sifat cahaya dan interaksinya terhadap sekitar dilakukan dengan pendekatan paraksial geometris seperti refleksi dan refraksi, dan pendekatan sifat optik fisisnya yaitu: interferensi, difraksi, dispersi, polarisasi. Masing-masing studi optika klasik ini disebut dengan optika geometris (en:geometrical optics) dan optika fisis (en:physical optics).
Pada puncak optika klasik, cahaya didefinisikan sebagai gelombang elektromagnetik dan memicu serangkaian penemuan dan pemikiran, sejak tahun 1838 oleh Michael Faraday dengan penemuan sinar katode, tahun 1859 dengan teori radiasi massa hitam oleh Gustav Kirchhoff, tahun 1877 Ludwig Boltzmann mengatakan bahwa status energi sistem fisik dapat menjadi diskrit, teori kuantum sebagai model dari teori radiasi massa hitam oleh Max Planck pada tahun 1899 dengan hipotesa bahwa energi yang teradiasi dan terserap dapat terbagi menjadi jumlahan diskrit yang disebut elemen energi, E.
Pada tahun 1905, Albert Einstein membuat percobaan efek fotoelektrik, cahaya yang menyinari atom mengeksitasi elektron untuk melejit keluar dari orbitnya. Pada pada tahun 1924 percobaan oleh Louis de Broglie menunjukkan elektron mempunyai sifat dualitas partikel-gelombang, hingga tercetus teori dualitas partikel-gelombang.
Albert Einstein kemudian pada tahun 1926 membuat postulat berdasarkan efek fotolistrik, bahwa cahaya tersusun dari kuanta yang disebut foton yang mempunyai sifat dualitas yang sama. Karya Albert Einstein dan Max Planck mendapatkan penghargaan Nobel masing-masing pada tahun 1921 dan 1918 dan menjadi dasar teori kuantum mekanik yang dikembangkan oleh banyak ilmuwan, termasuk Werner Heisenberg, Niels Bohr, Erwin Schrödinger, Max Born, John von Neumann, Paul Dirac, Wolfgang Pauli, David Hilbert, Roy J. Glauber dan lain-lain.
Era ini kemudian disebut era optika modern dan cahaya didefinisikan sebagai dualisme gelombang transversal elektromagnetik dan aliran partikel yang disebut foton. Pengembangan lebih lanjut terjadi pada tahun 1953 dengan ditemukannya sinar maser, dan sinar laser pada tahun 1960. Era optika modern tidak serta merta mengakhiri era optika klasik, tetapi memperkenalkan sifat-sifat cahaya yang lain yaitu difusi dan hamburan.

Prinsip Fermat
Prinsip Fermat atau principle of least time adalah sebuah prinsip yang mendefinisikan jarak tempuh yang terpendek dan tercepat yang dilalui oleh cahaya. Prinsip ini kadang-kadang digunakan sebagai definisi sinar, sebagai cahaya yang merambat sesuai prinsip Fermat.[1] Prinsip ini merupakan penyederhanaan yang dilakukan oleh Pierre de Fermat pada tahun 1667 dari konsep-konsep serupa sebelumnya dari berbagai macam percobaan refleksi cahaya. Pada pengembangan teori-teori cahaya, prinsip Fermat selalu ditilik ulang dan disempurnakan.
Pada hukum Snellius, dijelaskan rasio yang terjadi akibat prinsip ini sebagai:
\frac{\sin\theta_1}{\sin\theta_2} = \frac{v_1}{v_2} = \frac{n_2}{n_1} \,,
walaupun terdapat keraguan metode yang digunakan Willebrord Snellius pada tahun 1621 untuk menentukan nisbah kecepatan cahaya mengingat bahwa cahaya baru dipastikan mempunyai kecepatan yang konstan pada tahun 1676 oleh Ole Christensen Rømer. Dan Isaac Newton baru pada tahun 1675 menyatakan bahwa partikel cahaya mempunyai kecepatan yang lebih tinggi pada medium yang lebih padat, akibat gaya gravitasi, walaupun teori ini kemudian dibuktikan adalah keliru.
Isaac Newton dengan persamaan gaya yang sangat terkenal:
F = m \,a \,,
yang mendefinisikan massa sebagai kelembaman benda terhadap perubahan kecepatan, dapat menjabarkan hukum Snellius sebagai teori partikel cahaya:
m\,a = n\,\sin\theta
karena analogi indeks bias dengan massa dan percepatan dengan perubahan sudut sinar bias terhadap perubahan sudut sinar insiden. Dan mendefinisikan prinsip Fermat sebagai prinsip kekekalan gaya dengan sinar cahaya sebagai gaya yang memicu kecepatan massa pada jarak tempuhnya.
 F_1 = F_2 \,
sehingga:
n_1\sin\theta_1 = n_2\sin\theta_2\ .
Dan dengan penurunan persamaan ini, banyak yang menyangsikan bahwa Isaac Newton mengatakan kecepatan cahaya pada medium yang lebih padat menjadi lebih cepat.
Prinsip Fermat disebut sebagai konsekuensi extremum principle of wave mechanics dari teori gelombang yang dipresentasikan Christiaan Huygens pada tahun 1690 yang kemudian disebut prinsip Huygens, dengan menambahkan parameter panjang gelombang pada nisbah hukum Snellius:
..of all secondary waves (along all possible paths) the waves with the extrema (stationary) paths contribute most due to constructive interference.
sebagai kecenderungan gelombang cahaya untuk merambat melalui jarak tempuh yang stasioner yang membentuk sudut tertentu terhadapat normal antarmuka dua medium.

Kecepatan dan waktu

Kecepatan dalam mekanika klasik didefinisikan sebagai pergeseran posisi dalam kurun waktu:
\mathbf{v}={\mathrm{d}\mathbf{x} \over \mathrm{d}t}
Jika pada diagram ditumpangkan sebuah lingkaran dengan jari-jari yang disebut kurun waktu \Delta t, dan menggabungkan dengan persamaan hukum Snellius dengan hukum Newton sebagai berikut:
\sin \theta = \mathrm{d}\mathbf{a} = {\mathrm{d}\mathbf{v} \over \mathrm{d}t}
maka:
\mathbf{v}= \sin\theta \int\mathrm{d}t
Persamaan ini mendefinisikan kecepatan sebagai proyeksi berjalannya waktu terhadap rentang sudut pengamatan pengamatnya. Sebagai contoh, sebuah kereta api yang berjalan pada kecepatan yang sama, jika diamati dari jarak dekat akan terasa lebih cepat daripada jika diamati dari kejauhan, karena sudut pandang pengamatan yang lebih kecil, pada kurun waktu pengamatan yang sama.
Prinsip Fermat menyatakan bahwa jarak tempuh refraksi yang membias adalah jarak tempuh yang tersingkat bagi cahaya. Pernyataan ini dari sudut pandang geometris adalah keliru sama sekali, karena jarak tempuh yang tersingkat adalah sebuah garis lurus yang menghubungkan dua buah titik pada satu bidang. Dilihat dari sudut pandang kenisbian, cahaya yang membias merupakan arah rambat waktu yang melengkung akibat ketergantungan terhadap kecepatan. Ini berarti bahwa waktu ada karena adanya gerakan pada kecepatan tertentu.
Waktu masih mempunyai proyeksi yang lain berupa kecepatan pada sumbu normal yang lepas dari pengamatan, sehingga waktu menurut prinsip Fermat adalah bilangan kompleks yang terdiri dari dua unsur kecepatan, yaitu kecepatan kejadian yang diamati oleh pengamat dari kecepatan tertentu.
Jarak tempuh dalam mekanika klasik ditulis ulang berdasarkan sudut pengamatan menjadi:
\mathrm{d}\mathbf{x} = \mathbf{v}\,\sin\theta \,\mathrm{d}t
yang ditunjukkan oleh luas area di antara waktu dan kecepatan.

Gaya dan massa

Pada hukum Newton, gaya ditentukan menurut persamaan:
 \mathrm{d}F = \mathbf{m} \cdot \mathrm{d}a
Persamaan ini mengatakan bahwa gaya adalah produk sebuah massa yang mengalami percepatan, sesuai dengan hukum Newton yang pertama, yang menyebutkan bahwa benda yang mempunyai massa akan mempunyai kecepatan yang konstan dan akan mengalami percepatan pada saat dikenai gaya. Dengan penggabungan dengan prinsip Fermat, diperoleh persamaan sebagai berikut:
\Delta \mathbf{n}={\mathbf{c} \over \mathbf{v}}-{\mathbf{c} \over \mathbf{c}} = \Delta \mathbf{m}
yang menjadi addendum hukum Newton yang pertama dengan mengaitkan pengurangan massa dengan penambahan kecepatan dan sebaliknya, sehingga terjadi relasi antara impulsi percepatan dengan perubahan massa. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kejadian saat sebuah pesawat terbang atau kapal laut yang membuang sebagian muatan untuk mempertahankan kecepatan.
Persamaan hukum Newton kemudian ditulis ulang menjadi menurut prinsip Fermat:
 \mathrm{d}F = \mathbf{m} \cdot \mathrm{d}a + \mathbf{a} \cdot \mathrm{d}m
Menurut persamaan tersebut, gaya didefinisikan ulang sebagai bilangan kompleks produk dari sifat kebendaan suatu materi dan sifat gelombang materi tersebut. Persamaan ini kemudian dikenal dengan teori partikel cahaya yang mendefinisikan massa dari gelombang cahaya. Gaya adalah penjumlahan produk dari massa yang mengalami percepatan dan produk dari bertambahnya/berkurangnya sebagian dari massa akibat percepatan yang dialaminya.
(sumber: Wikipedia.org)
 

No comments:

Post a Comment