Tuesday, December 9, 2025

NEED YOUR HELP FOR SUMATERA FLOOD VICTIMS


​๐ŸŒŠ Help the Victims of the Sumatra Flood Disaster: A Call for Donations

​The island of Sumatra has recently been struck by devastating floods, causing widespread destruction, displacement, and heartbreaking loss. Thousands of families have seen their homes, livelihoods, and possessions washed away in the relentless torrents.

​The immediate aftermath is grim. Victims urgently need basic necessities like clean water, food supplies, essential medical aid, and safe shelter. Children and the elderly are particularly vulnerable, facing acute risks of disease and exposure.

A Direct Appeal to Donors

​We issue a sincere and urgent appeal to all generous donors, organizations, and concerned individuals worldwide. Your financial contribution is vital right now.

IKALISA (Alumni 51 Condet) is actively involved in gathering and channeling aid directly to the affected communities. Relief efforts require substantial funding to rapidly procure and distribute aid, set up temporary clinics, and begin the long process of reconstruction.

  • Fund the Essentials: Donations collected by IKALISA will directly purchase life-saving items like water purification tablets and emergency food packs.
  • Support Recovery: Your funds ensure local aid groups can provide sustained support long after the initial crisis subsides.
  • Immediate Impact: Every single rupiah or dollar contributed makes a profound difference, providing a warm meal, a dry blanket, and the hope of rebuilding for those who have lost everything.

How to Donate to IKALISA

​You can send your financial contributions directly to the designated relief account set up by IKALISA (Alumni 51 Condet):

Bank Mandir

9000-0345-85084

Contact Person: Ierfanchristmast

+62 812-7121-987

Sunday, December 7, 2025

Kembalinya Kekaisaran Baru (3)


Bab 3: Merebut Kekuasaan

​Di tengah-tengah Pengawal Keluarga Long, sesosok tubuh berjubah abu-abu berdiri dengan tangan terlipat di belakang punggungnya.

​Sepasang mata segitiga yang menyerupai ular itu tidak menunjukkan sedikit pun jejak emosi manusia, dan wajah tuanya menatap dingin ke arah iring-iringan jenazah yang terasa sedikit mendadak itu.

​“Hmm?”

​Di atas kereta kayu cendana ungu-keemasan, Long Jingyun, Kepala Keluarga Long, tiba-tiba menyipitkan mata seperti harimau.

​“Tetua Kedua, apa maksud semua ini?!”

​Kata-kata yang diucapkan Long Jingyun saat ini praktis keluar dari sela-sela giginya!

​Semua orang tertegun melihat pemandangan di hadapan mereka.

​Apa sebenarnya yang terjadi?

​Mereka hanya pergi ke Sekte Ziyang untuk membawa pulang jenazah Long Che; apakah Keluarga telah diubah sedemikian rupa?

​Senjata Tajam yang berkilauan, alat pembunuh ampuh Klan Long yang telah membuat semua penjuru gentar, kini diarahkan pada anggota Klan Long mereka sendiri!

​Apakah Tetua Kedua mencoba untuk memberontak?!

​Seluruh iring-iringan itu tenggelam dalam kebingungan dan keterkejutan yang mendalam!

​“Long Jingyun!”

​Tetua Kedua, Long Fanjiang, meraung, terdengar merasa benar sendiri.

​“Menurut aturan Keluarga Klan Long kita, siapa pun yang tidak memiliki pewaris tidak berhak atas posisi Kepala Keluarga! Oleh karena itu, hari ini, saya akan menjalankan wewenang Kepala Keluarga! Kau akan segera membawa putramu dan menuju ke reruntuhan rumah lama Klan Long untuk dikuburkan pada hari yang baik, tanpa penundaan!”

​Apa?!

​Ini berarti tidak diizinkan masuk melalui gerbang Keluarga!

​Sebagai Kepala Klan Long, putranya meninggal, dan ia bahkan tidak diizinkan membawanya melewati gerbang Keluarganya sendiri?!

​Kemarahan Long Jingyun berkobar; ia menghentakkan kaki, dan seluruh tubuhnya melesat dari kereta harimau, menukik turun seperti elang pemangsa.

​Ketika ia mendarat, paving batu yang keras di bawah kakinya hancur menjadi debu!

​“Long Fanjiang! Beraninya kau! Merampas wewenang dan memberontak terhadap atasanmu, menurut aturan Keluarga, kau akan segera dihukum mati!”

​Aura Long Jingyun sangat besar, memancar keluar!

​Putra mudanya baru saja meninggal, dan Tetua Kedua ini bertindak seperti ini—sungguh pengkhianat dan tak berperasaan!

​Melihat ini, Tetua Kedua, Long Fanjiang, diam-diam menggertakkan giginya.

​Kultivasi Long Jingyun adalah yang terkuat di seluruh Klan Long, dan dia tidak berani memprovokasi dia dengan enteng.

​Namun, mengandalkan aturan Keluarga Klan Long, ia masih merasa sangat percaya diri, dan kata-katanya tetap dingin dan tegas.

​“Hmph, memberontak terhadap atasan? Yang memberontak terhadap atasan sekarang adalah kau, Long Jingyun!”

​Long Fanjiang melambaikan tangannya yang besar, dan semua busur serta anak panah diarahkan ke Long Jingyun, kilauan dingin mereka menebarkan ketakutan di hati setiap orang!

​Apakah dia secara terbuka mencoba merebut kekuasaan?

​Long Jingyun mencibir, memindai sekeliling, tetapi akhirnya menggelengkan kepala tanpa daya.

​“Long Fanjiang, aku tahu kau telah lama mendambakan posisi Kepala Keluarga, tetapi kau hanyalah Tetua Kedua. Bahkan jika aku kehilangan kualifikasiku untuk posisi Kepala Keluarga, itu tidak akan menjadi giliranmu! Di mana Tetua Agung?!”

Swoosh!

​Begitu suara Long Jingyun mereda, sebuah kepala berlumuran darah dilemparkan dari Alam Kekosongan (Void Realm), berguling beberapa kali di tanah sebelum berhenti di kaki Long Jingyun.

​Mata merahnya, bahkan dalam kematian, dipenuhi dengan keengganan yang mendalam; ia mati dengan mata terbelalak!

​“Tetua Agung!”

​Hati Long Jingyun terguncang hebat!

​Kelompok Pengawal Keluarga Long di belakangnya juga menatap ngeri pada kepala yang berlumuran darah itu, semuanya dipenuhi rasa tidak percaya!

​Kepala ini adalah milik Tetua Agung Klan Long!

​Mereka tidak pernah membayangkan bahwa setelah satu perjalanan ke Sekte Ziyang, bencana seperti ini akan menimpa Keluarga!

​Bahkan Tetua Agung yang sangat dihormati telah menemui akhir yang tragis, hidupnya hilang ke Mata Air Kuning (Yellow Springs)!

​“Hmph! Long Jingyun, Tetua Agung mengabaikan aturan Keluarga dan telah dieksekusi olehku di tempat! Aturan Keluarga Long menyatakan bahwa tidak ada yang diizinkan untuk melanggarnya! Kau pun tidak terkecuali!”

​Tetua Kedua, Long Fanjiang, memancarkan Aura dingin; hari ini, ia bertekad untuk berhasil!

​“Tetua Kedua! Bagaimana kau bisa melakukan skema rahasia seperti itu?!”

​Di belakang Long Jingyun, kapten pengawal, Tie Ying, juga melangkah maju dan meraung marah.

​“Hmph, Tie Ying, siapa kau?! Kau hanyalah kapten Pengawal Keluarga Long-ku; ini bukan tempatmu untuk berbicara!”

​Wajah Long Fanjiang dingin membeku, niat membunuhnya nyaris tidak tersembunyi.

​Apa lagi yang ingin Anda terjemahkan atau diskusikan dari cerita ini?

Wednesday, November 26, 2025

Jalan Panjang Ujian Kekaisaran (2)


 

​Bab 2 Keluarga ​

Sekitar tengah hari, Kakak Keempat Li He datang memanggilnya untuk makan.

​Li He terbangun dengan mata mengantuk, membiarkan Kakak Keempatnya membantunya berpakaian dan mencuci muka, lalu menggandeng tangannya dan berjalan ke aula utama.

​Di aula utama, mangkuk dan sumpit sudah tertata.

​Wang Shi mengangkat Li He dan mendudukkannya di pangkuannya di meja, siap untuk makan.

​Li He melihat sekeliling, tidak melihat Kakak-Kakak Perempuannya, dan, teringat sesuatu, bertanya pada Wang Shi, "Ibu, di mana Kakak-Kakak? Kita tidak menunggu mereka?"

​Wang Shi mengambil sesendok telur orak-arik dan menyuapkannya ke Li He, berkata dengan acuh tak acuh, "Kakak-Kakakmu pergi ke ladang untuk mengantar makanan. Mereka akan segera kembali, kita makan dulu."

​Melihat Li He patuh memakan telur orak-arik itu, dia tersenyum dan berkata, "Bagaimana, Anak Ketiga, apakah telur orak-ariknya enak? Ibu sengaja membuatnya untukmu."

​Li He mengecap bibirnya, menikmati rasanya, dan berkata dengan sedikit enggan, "Enak, Ibu makan juga."

​Wajah Wang Shi berseri-seri mendengar ini: "Anak Ketigaku sangat berbakti, ia bahkan tahu menyuruh Ibu makan telur orak-arik. Ibu tidak suka, tubuhmu lemah, lebih baik kamu mendapat lebih banyak nutrisi."

​Kemudian suasana hatinya menjadi muram lagi: "Ini juga salah Ibu karena tidak mampu; andai saja Ibu bisa membelikanmu daging."

​Li He pura-pura tidak mengerti.

Kakak Keempat Li He juga duduk diam di meja makan sepanjang waktu. Li He tahu dia benar-benar ingin makan, dan dia sudah pernah menawari sebelumnya, tetapi reaksi Wang Shi terlalu intens, jadi dia tidak berani mengungkitnya lagi.

​Telur orak-arik itu tidak banyak, tetapi Li He masih kecil dan sudah sakit beberapa saat, jadi nafsu makannya tidak besar. Setelah menghabiskan semangkuk telur orak-arik dan kemudian semangkuk bubur, dia kenyang.

​Melihat Li He tidak berniat makan lagi, Wang Shi menurunkannya di tanah untuk bermain sendiri, dan dia mulai makan.

​Wang Shi makan sayuran hijau tumis dan nasi biji-bijian campur. Disebut sayuran tumis hampir sama dengan direbus; Li He tidak bisa melihat perbedaannya.

​Saat ini, hanya makanan Li He yang berbeda dari orang lain. Sejak Wang Shi tinggal di rumah untuk bekerja, dia selalu mencari cara untuk memberikan makanan spesial kepada Li He.

​Sepenuhnya karena kasih sayang keibuan Wang Shi-lah Li He bisa pulih dengan baik. Oleh karena itu, setelah tawarannya untuk berbagi telur orak-arik langka itu ditolak keluarganya, dia rajin berolahraga untuk mencegah keluarganya khawatir lagi tentang kesehatannya.

​Tidak bisa dikatakan Li He egois, lagipula, setiap kali dia makan telur, dia akan menawarkannya kepada Ayah dan Ibunya, meskipun mereka selalu menolak. Tetapi bagi Li He untuk bersikeras, dia benar-benar tidak bisa melakukannya, karena tubuh ini terlalu lemah.

​Di rumah yang sama sekali tidak kaya ini, dia tidak bisa mendapatkan nutrisi apa pun untuk menyehatkan tubuhnya. Dia hanya bisa berpegangan erat pada satu-satunya makanan berprotein itu, lagipula, dia ingin hidup, bukan sakit-sakitan dan terus-menerus mengkhawatirkan keluarganya.

​Li He perlahan berjalan mondar-mandir di halaman.

​Dia tidak tahu berapa umurnya, tetapi menilai dari perawakannya, dia mungkin sekitar tiga tahun. Namun, mengingat penyakitnya dan kondisi kehidupan di zaman kuno, usianya seharusnya sedikit lebih tua dari yang dia duga, mungkin sudah empat atau lima tahun.

​Dia hanya memiliki gambaran kasar tentang anggota keluarga lainnya. Dia tidak bisa bertanya secara terang-terangan, lagipula, akan terlalu aneh bagi seorang anak kecil tiba-tiba bertanya tentang usia semua orang dalam keluarga, dan itu bahkan bisa menimbulkan kecurigaan.

​Tepat ketika Li He berjalan mengelilingi halaman dua kali dan kemudian melihat ayam-ayam di kandang dengan mata yang baik dan penuh perhatian untuk sementara waktu, Kakak-Kakak Perempuannya juga kembali.

​Generasi keluarga Li ini memiliki empat anak perempuan; putri paman kedua berada di peringkat kedua, dan tiga sisanya adalah Kakak-Kakak kandung Li He. Mereka tidak memiliki nama; anggota keluarga hanya memanggil mereka Bibi Li, Bibi Ketiga Li, dan Kakak Keempat. Mengenai keluarga paman kedua, Li He tidak jelas.

Bibi Li dan Bibi Ketiga Li memasuki halaman dan melihat adik laki-laki mereka berdiri di pintu masuk kandang ayam, menatap ayam-ayam itu.

Bibi Li kini sudah menjadi gadis setengah dewasa; dia maju, menggenggam tangan Li He, dan bertanya sambil tersenyum, "Anak Ketiga, kenapa kamu berdiri di halaman? Sudah makan? Ada makanan enak hari ini."

Bibi Ketiga Li tidak mengatakan apa-apa saat Kakak Perempuannya menarik adik laki-laki mereka untuk berbicara; dia langsung masuk ke aula utama untuk makan.

​Li He dengan patuh digandeng tangannya oleh Kakak Perempuannya ke bangku bambu di halaman dan duduk. Mendengar pertanyaan itu, dia hanya menjawab dengan serius, "Sudah makan. Ibu menyuruhku keluar untuk bermain, Kakak, cepatlah makan, sebentar lagi dingin."

Bibi Li dengan penuh kasih membelai pipi adik laki-lakinya. Sejak Anak Ketiga lahir, dia pada dasarnya telah membesarkannya. Kali ini, dia menderita musibah yang tidak pantas karena dia pergi keluar untuk memetik sayuran, dan ketika dia kembali, dia melihat adik laki-lakinya terbaring tak sadarkan diri di tanah, dengan pelakunya berdiri di sampingnya meratap.

​Saat itu, dia ingin mati. Ibu telah melahirkan tiga Kakak Perempuannya, dan begitu sulit untuk akhirnya memiliki satu anak laki-laki ini. Dia hampir mati karena kesalahannya. Syukurlah, syukurlah, Anak Ketiga diselamatkan, kalau tidak, dia benar-benar tidak akan punya muka untuk hidup di dunia ini.

Bibi Li melihat Li He duduk dengan patuh di bangku tanpa bergerak dan merasa dia terlalu pendiam. Namun, dia mengerti bahwa anak itu mungkin ketakutan setelah mengalami cobaan seperti itu. Dia hanya menginstruksikannya untuk tidak lari keluar halaman dan kemudian masuk ke aula utama untuk makan sendiri.

​Pintu aula utama terbuka, dan orang-orang di dalam selalu bisa melihat apa yang terjadi di luar.

​Li He melihat Kakak Perempuannya masuk ke dalam rumah, lalu bangkit dan melanjutkan berjalan mengelilingi halaman.

​Awalnya, lukanya belum sembuh, dan dia minum obat pahit setiap hari, merasa kasihan pada dirinya sendiri dan berpikir untuk keluar dari kesulitan ini. Kemudian, dia pasrah pada nasib dan mulai menerima dunia ini dan keluarganya, dan dia penasaran untuk sementara waktu, lagipula, ini adalah pemandangan kuno yang murni.

​Namun, hari demi hari, melihat ke luar jendela ke rumah tanah dan kandang ayam di halaman, bahkan hal-hal yang paling segar pun menjadi membosankan. Kemudian, tubuhnya sedikit membaik, dan dokter juga mengatakan dia bisa keluar, tetapi keluarganya melarangnya meninggalkan gerbang halaman, jadi dia hanya bisa berkeliaran di halaman.

​Untungnya, dia adalah seseorang yang bisa beradaptasi dengan keadaan, dan seiring waktu, dia menemukan kesenangan sendiri.

​Selama beberapa kali dia di luar, dia sempat bertemu dengan pelaku yang menyebabkan cederanya beberapa kali, tetapi setiap kali, dia pura-pura tidak melihatnya, menundukkan kepala dan bergegas melewatinya.

​Li He juga tidak menunjukkan perbedaan apa pun; setiap kali, dia dengan tenang melakukan urusannya sendiri dan menemukan kesenangan sendiri.

​Karena Wang Shi mengambil alih pekerjaan rumah tangga untuk menjaga Li He, yang termasuk memasak. Namun, Wang Shi sama sekali menolak memasak untuk pelaku yang hampir membunuh putranya, sehingga keluarga itu beberapa kali bertengkar.

​Kakek Li He-lah yang akhirnya membuat keputusan, mengizinkan Anak Kedua Paman Tertua makan di keluarga yang relatif baik di desa. Mereka akan menyediakan makanan dan upah, karena mereka tidak mungkin membiarkan anak itu kelaparan. Namun, ini hanya untuk makan siang; dia masih harus pulang untuk makan malam.

​Di malam hari, Wang Shi tidak lagi menentang, lagipula, seseorang tidak boleh terlalu ekstrem, jika tidak, mereka akan terlihat tidak masuk akal, dan itu tidak baik. Dia masih harus mendapatkan sesuatu dari keluarga ini untuk menghidupi putranya; semua ini adalah hal yang mereka hutangkan kepada Anak Ketiganya.

​Adapun bagaimana Li He mengetahui semua ini, dia masih tidur di ranjang yang sama dengan Ayah dan Ibunya, dan dia mendengar semua ini ketika Ayah dan Ibunya mengobrol di malam hari, lagipula, tidak ada yang akan berjaga-jaga terhadap seorang anak, bukan?

​Namun, sebagian besar waktu, Wang Shi yang akan berbicara, dan Li San yang akan mendengarkan, dan kemudian tak lama kemudian akan terdengar suara dengkuran. Wang Shi kemudian akan menusuk Li San dengan marah, dan setelah dia bangun, dia akan berbalik dan tertidur, meninggalkan Li San untuk bertanya-tanya sendiri.

​Setiap kali ini terjadi, Li He akan pura-pura tidur dan kemudian diam-diam tertawa, merasakan kehangatan di hatinya saat dia mendengarkan pertanyaan bingung Ayahnya.

​Ketika dia tidur, dia juga samar-samar berpikir: kehidupan seperti ini sebenarnya cukup baik.

​Setelah hampir sebulan seperti ini, perlahan-lahan, tubuh Li He menjadi mirip dengan teman-teman sebayanya.


Tuesday, November 25, 2025

Jalan Panjang Menuju Ujian Kekaisaran (1)


Bab 1 – Kelahiran Kembali

Sudah berapa lama waktu berlalu?
Li He menyandarkan kepalanya pada kusen jendela, melamun tanpa fokus.

Ia memandang cahaya matahari hangat di luar jendela, tatapannya perlahan naik, dan matanya dipenuhi warna hijau dari berbagai tanaman. Di halaman, seorang Perempuan sedang tekun memberi makan ayam dan bebek, sementara beberapa gadis yang lebih besar sibuk membantunya.

Perempuan itu mengenakan pakaian linen kasar, tubuhnya berdebu, dan meski pakaiannya rapi, kemiskinan tetap tak bisa disembunyikan dari penampilannya. Para gadis di belakangnya bahkan tampak lebih memprihatinkan—masing-masing sangat kurus, berwajah pucat kekuningan, dengan pipi cekung dalam, namun mereka tetap berebut bekerja dengan penuh semangat.

Li He tak dapat menahan desah napas lembut saat menyaksikan pemandangan itu.

Perempuan itu tampaknya menyadari sesuatu. Ia melihat bocah kecil, lemah, sedang bersandar di jendela. Dengan nada setengah khawatir dan setengah mengomel, ia berkata,
“Kau ini anak, jangan berjemur seperti itu. Matahari sedang terik, nanti kau pusing. Cepatlah berbaring di tempat tidur.”

Walaupun terdengar seperti teguran, ucapannya mengandung kelembutan yang sulit disembunyikan.

Mendengar hal itu, Li He secara naluriah tersenyum lebar kepada Perempuan tersebut dan patuh menjawab,
“Aku tahu, Ibu.”
Setelah berkata begitu, ia pun berbaring.

Melihatnya menurut, Perempuan itu ikut tenang. Ia meninggalkan gadis bungsu untuk bekerja di halaman sekaligus mengawasi si bocah, lalu membawa gadis-gadis lainnya pergi, masing-masing menggendong keranjang bambu.

Li He mendengarkan suara-suara dari halaman. Setelah semuanya hening, ia bangkit lagi dan bersandar pada jendela.

Gadis yang tinggal di halaman tampak berusia delapan atau sembilan tahun. Ia duduk di atas batu, dengan tekun memilin tanaman dari keranjang bambunya menjadi serabut tipis, lalu menggulungnya pada sebuah tongkat kayu di tangannya.

Gadis itu begitu fokus bekerja hingga tidak menyadari bahwa Li He diam-diam duduk lagi.

Li He memperhatikan gadis itu dengan cermat; jari-jarinya terus bergerak lincah, ringan, dan cepat. Ia tahu apa yang sedang dikerjakan si gadis. Ketika masih kecil, ia pernah membantu neneknya memilin tali rami. Neneknya akan memakai tali itu untuk menjahit tampah, lalu menjual hasilnya di pasar seharga beberapa yuan masing-masing. Setelah mendapat uang, neneknya selalu memberinya satu yuan sebagai uang jajan, dan ia akan berlari bahagia ke toko kelontong untuk membeli permen.

Mengenang masa lalu, hati Li He yang sebelumnya seperti abu mati, sedikit bergetar kembali.

Li He masih belum tahu di mana ia berada sekarang. Usianya, tinggi badannya, bahkan jenis kelaminnya semuanya berbeda.

Kehidupan sebelumnya—kalau itu bisa disebut kehidupan sebelumnya—ia jelas seorang mahasiswi, sudah satu tahun lulus, berada dalam masa muda terbaiknya. Latar belakang keluarganya biasa saja, penampilannya biasa, universitasnya biasa, jurusannya biasa, dan pekerjaannya pun biasa. Satu-satunya hobinya adalah membaca berbagai buku, dan setelah lulus, ketika waktunya tidak banyak, ia menikmati menonton video-video singkat bertema humaniora.

Hidupnya hambar dan datar seperti air putih, hubungannya dengan keluarga juga tidak begitu erat; ia bahkan jarang menelepon rumah.

Siapa sangka orang se-biasa itu bisa mengalami peristiwa penyeberangan dunia? Ia jelas tertidur saat lembur di kantor, dan ketika bangun, ia telah menjadi seorang anak kecil yang terbaring lemah di ranjang, hampir tidak bisa bangun.

Mengingat hal itu, Li He tak tahan meraba bagian belakang kepalanya. Saat ia menyeberang, tubuh ini sedang sekarat di tempat tidur. Li He menduga pemilik tubuh asli sudah meninggal, kalau tidak, ia tak mungkin menempati tubuh itu.

Li He memikirkan dengan muram bahwa ia mungkin benar-benar mati karena kelelahan kerja di kantor. Untungnya ia meninggal di kantor, sehingga keluarganya bisa mendapatkan santunan. Ia juga memiliki seorang adik laki-laki, jadi ia tidak perlu terlalu khawatir tentang masa tua orang tuanya.

Mengingat kedua orang tuanya di dunia modern, Li He menahan rasa pahit di tenggorokannya. Pada awalnya, ia tidak seoptimis ini. Ia sering menangis sampai tertidur, tetapi masalahnya tidak juga berubah, jadi ia menyerah. Semua sudah tidak dapat diubah; ia hanya bisa menatap ke depan dan membiarkan waktu menyembuhkan luka.

Li He mengedipkan mata, menahan air yang hampir tumpah. Saat pertama datang, ia sangat berhati-hati, takut dianggap monster dan dibakar. Ia tak berani berkata sepatah kata pun di siang hari dan hanya menangis diam-diam pada malam hari. Hal ini membuat seluruh keluarga murung dan sedih, bahkan beberapa kali terjadi pertengkaran keluarga.

Karena setiap pertengkaran selalu diiringi caci maki, akhirnya Li He dapat memahami keadaan pemilik tubuh asli.

Pertengkaran tidak pernah terjadi di kamarnya, tetapi suaranya terdengar jelas dari halaman.

Mungkin karena sisa ingatan pemilik tubuh asli, ia dapat memahami dialek setempat dengan lancar. Dari situlah ia mengetahui penyebab lukanya dan siapa orang yang selalu menangis setiap melihatnya.

Ternyata pemilik tubuh asli didorong oleh putra bungsu Anak Sulung, dan kepalanya terbentur batu hingga akhirnya meninggal. Putra bungsu Anak Sulung itu satu atau dua tahun lebih tua darinya, sehingga pemilik tubuh asli tidak sempat mempertahankan diri.

Bermain kasar antar anak bisa berakibat fatal. Kedua keluarga tidak bisa menyelesaikan masalah, dan Ayah serta Ibu dari keluarga besar itu selalu memihak cabang pertama, sehingga tidak pernah diberi penjelasan, membuat Ibu pemilik tubuh asli menangis dan ribut setiap hari.

Awalnya, mereka bahkan tidak berencana mengobatinya, karena tampaknya ia tidak akan bertahan. Namun Ayah dan Ibu pemilik tubuh asli tidak menyerah, mereka mengundang tetua marga, sehingga Ayah dan Ibu keluarga besar itu mau mengeluarkan uang perak. Meski begitu, tetap tidak bisa menyelamatkan anak malang itu—memberi kesempatan bagi seorang pegawai kantor yang mati karena kelelahan untuk terlahir kembali dalam tubuh ini.

Seharusnya mereka bahagia karena anaknya sembuh, tetapi sikap Li He yang hati-hati dan enggan berbicara justru memberi pukulan baru bagi hati Ayah dan Ibunya.

Di tengah berbagai pertengkaran, Ibu pemilik tubuh asli akhirnya memperoleh satu hak istimewa: ia tidak perlu lagi bekerja di ladang dan boleh tinggal di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah, mencuci, memasak, sekaligus merawat anaknya.

Setelah kejadian itu, cabang pertama dan cabang ketiga benar-benar bersitegang. Meski tinggal di bawah satu atap, hubungan mereka lebih buruk daripada orang asing.

Walaupun Li He telah terlahir kembali, marganya tetap Li. Ia sudah berada di sini cukup lama untuk memahami urusan keluarga secara umum. Awalnya ia masih berpikir tentang kemungkinan kembali ke dunia modern, tetapi ia adalah orang yang penakut dan tidak berani mengambil risiko. Ayah, Ibu, dan ketiga kakak perempuannya begitu tulus menyayanginya, sehingga ia memilih menerima takdir.

Gadis yang bekerja di halaman tadi adalah Kakak Keempatnya, anak keempat dalam keluarga. Setelah Li He mulai berbicara, ia pun memanggilnya Kakak Keempat.

Li He memandang Kakak Keempatnya yang sedang bekerja keras dan menggigit bibir. Dari apa yang ia lihat selama beberapa hari ini, keluarganya benar-benar kacau.

Ayahnya entah memiliki nama atau tidak; orang yang datang dan pergi hanya memanggilnya Li San, dan memanggil Ibunya dengan sebutan Wang. Ia memiliki tiga kakak perempuan kandung; ia adalah anak bungsu. Kakek dan nenek dari pihak ayah memiliki tiga putra; kini hanya Anak Sulung dan ayahnyalah yang tinggal melayani mereka. Paman kedua tinggal di kota, sudah menikah dan punya anak, tetapi hanya memiliki seorang putri. Ia pulang setiap sepuluh hari atau lebih, namun selalu membawa banyak barang dan selalu menjenguk Li He, memberinya dua permen. Ia tampak cerdas dan pandai.

Anak Sulung memiliki dua anak laki-laki, keduanya tampaknya tidak memiliki nama, hanya dipanggil Anak Sulung dan Erlang. Ibunya juga biasa memanggil Li He sebagai Anak Ketiga. Anak yang bermasalah dengannya adalah putra bungsu Anak Sulung, yaitu Erlang. Li He pernah melihatnya saat melamun di jendela. Anak itu sepertinya sudah diperingatkan atau ketakutan, karena setiap kali melihat Li He, ia langsung kabur, seolah sedang dikejar serigala.

Setiap kali Li He melihat sosoknya yang kotor dan penakut, ia merasa jengkel. Betapa tidak sepadan, pikirnya, pemilik tubuh asli meninggal karena anak seperti itu.

Kakek-nenek dari pihak ayah—yang kini menjadi kakek-neneknya juga—adalah petani biasa, tetapi sangat memihak keluarga Anak Sulung. Istri Anak Sulung juga bukan orang yang mudah. Li He pernah beberapa kali melihatnya berkata sinis kepada Ibunya di halaman, bahkan memutar bola mata saat melihat Li He bersandar di jendela.

Setiap kali melihat perilakunya, bagian belakang kepala Li He terasa nyeri samar.

Perempuan ini benar-benar tidak merasa bersalah.

Sebelum kelahirannya kembali, meski ia merasa ikatan keluarganya tipis, setidaknya struktur keluarganya sederhana dan tidak ada urusan menjengkelkan seperti ini. Kini, tiba-tiba dihadapkan pada begitu banyak kerabat yang menyebalkan, ia merasa sesak napas.

Li He mengamati selama berhari-hari dan mengetahui bahwa selain keluarga paman kedua, keluarganya semuanya benar-benar petani. Ia tidak paham musim tanam, tetapi karena pernah tinggal di desa saat kecil dan beberapa kali membantu di ladang, ia dapat merasakan bahwa saat ini seharusnya tidak terlalu sibuk, kalau tidak, ketiga kakaknya tidak mungkin berada di rumah membantu Ibu.

Ia teringat ketika baru sembuh dan meminta Ayah memindahkan tempat tidurnya ke dekat jendela, ia melihat ketiga kakak perempuannya dan para orang dewasa berangkat bekerja dengan cangkul. Baru beberapa hari terakhir keadaan menjadi lebih tenang.

Li He bersandar di jendela, memikirkan berbagai hal, kemudian merasa mengantuk. Ia pun berbaring, menutupi kepalanya, dan kembali tidur.




Thursday, November 20, 2025

The Prostitute in New Tork


๐ŸŒ™ The Prostitute in New York ๐ŸŒ™

New York doesn’t shine for her.
It only flickers—
like a dying bulb in a hallway
no one walks through anymore.

She moves beneath the rain,
letting it wash the names
men have called her,
the ones that cling
stronger than perfume.

Her body is a map
of places she wishes
she could forget—
hotel rooms with peeling wallpaper,
sheets that smell like strangers,
mirrors that reflect a woman
she no longer recognizes.

Every night she tells herself,
just one more hour,
just one more customer,
just one more lie to survive.

But the streets listen
to the tremble in her breath.
Even the city,
so cruel and brilliant,
seems to turn away
from the ache in her eyes.

She keeps a photo in her coat—
a girl she used to be,
smiling beside a window
in a small, quiet home
where hope was still possible.

Sometimes she presses it
to her chest,
pretending her heart
still remembers how to beat
for something other than survival.

Men touch her,
but no one holds her.
They pay for her body,
but no one pays
for the pieces of her soul
that fall away each night
onto cold sidewalks.

And when dawn stains the sky
a pale, exhausted blue,
she whispers to the city:

“If anyone cares…
I am still here.”

But the sun rises
without answering,
and New York remains
a cathedral of loneliness—
where she kneels,
night after night,
praying for a salvation
that never comes.



Hilangnya Sebuah Harapan bag. 5

Bagian 5: Emosi yang Akhirnya Meledak

Hujan turun deras malam itu. Kota kecil yang biasanya tenang berubah menjadi kabur oleh air yang menampar tanah. Dara berdiri di balkon rumahnya dengan tangan gemetar. Sejak pertemuan di kafe, pikirannya tidak pernah berhenti memutar ulang setiap kata, setiap tatapan, setiap luka yang kembali terbuka.

Raka kembali.
Juno terluka.
Dara terjepit di tengah pusaran perasaan yang tidak ia harapkan.

Ia menunduk. Air hujan bercampur dengan air matanya.

“Kenapa semuanya harus kembali berantakan?” bisiknya.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama yang muncul di layar membuat dadanya semakin menegang.

Raka. Lagi.

Raka:
Aku di depan rumahmu.

Dara tersentak. Ia buru-buru turun ke bawah, membuka pintu—dan benar, Raka berdiri di bawah hujan tanpa payung, wajahnya pucat dan kacau.

“Kamu…” Dara ternganga. “Kenapa datang begini?”

Raka tersenyum pahit. “Karena aku nggak mau kamu menjauh. Aku nggak rela kamu diambil orang begitu saja, Dar.”

Dara merasakan ledakan kecil di dadanya. “Bukan ‘diambil’, Rak. Kamu yang pergi. Kamu yang meninggalkan aku.”

“Aku salah,” suara Raka pecah. “Tapi aku mau memperbaiki semuanya. Aku nggak bisa tidur sejak kamu bilang kamu dekat sama Juno.”

Tatapannya berubah gelap. “Apa kamu benar-benar suka sama dia?”

Dara menegang. “Aku… nggak tahu. Aku bingung.”

“Bingung?” Raka melangkah lebih dekat. “Kita bersama bertahun-tahun, Dar. Dan kamu bilang bingung karena seseorang yang baru muncul setelah aku pergi?”

Kalimat itu menusuk Dara seperti jarum.

“Aku bukan milik siapa pun,” kata Dara dengan suara gemetar. “Dan kamu nggak berhak menuntut apa-apa.”

Raka tertawa kecil, pahit. “Jadi kamu pilih dia?”

Dan lagi, Dara tidak menjawab. Diamnya justru membuat Raka semakin tersulut.

“Tuhan…” Raka menarik rambutnya, frustrasi. “Jadi benar? Kamu beneran jatuh hati sama dia?”

“Rak, tolong—”

“Jangan panggil aku begitu!” Raka membentak tiba-tiba. “Dara, aku kehilangan kamu karena kebodohan. Tapi aku nggak siap kalau kamu pindah ke dia!”

Dara memundurkan diri. Hatinya panas, kepalanya sakit, dan emosinya kacau.

“Kenapa kamu selalu datang ketika aku mulai bisa bernapas lagi?” teriak Dara. “Kenapa? Setelah semua luka yang kamu buat, setelah aku belajar untuk berdiri sendiri lagi… kamu kembali dan berharap semuanya sama?”

Raka terdiam, kehilangan kata-kata.

“Kenapa kamu baru berjuang sekarang?” Dara memukul dadanya sendiri. “Kenapa bukan dulu, saat aku menangis setiap malam menunggu kabar kamu?”

“Dara…” Raka mendekat, mencoba menyentuh tangannya. “Aku minta maaf. Aku cuma—”

“Tidak!” Dara mundur, air matanya mengalir deras. “Kamu datang terlalu terlambat.”

Raka terpukul. “Jadi aku nggak punya kesempatan?”

Dara menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku nggak tahu! Aku betul-betul… nggak tahu.”

Dan saat ia menangis, langkah kaki cepat terdengar dari luar pagar.

Dara menoleh.

Juno.

Juno berdiri basah kuyup di bawah hujan, napasnya seolah habis karena berlari. Wajahnya tegang, matanya liar mencari Dara.

“Dara!” Juno mendekat. “Kamu nggak apa-apa? Aku lihat lampu rumah mati, aku takut kamu pingsan atau—”

Juno berhenti ketika melihat Raka.

Keduanya saling menatap. Hening. Seperti dua badai yang bertemu.

Raka mengangkat dagunya. “Kenapa kamu di sini?”

“Aku khawatir,” jawab Juno dengan rahang mengeras. “Dara sendirian setelah pertengkaran tadi.”

Raka tertawa pendek. “Khawatir? Atau kamu takut aku kembali merebut dia?”

Juno menahan diri sekuat tenaga. “Aku bukan mau rebut apa pun. Aku cuma… peduli.”

“Peduli,” Raka mengulang kata itu sambil mendengus. “Peduli atau memanfaatkan saat aku nggak ada?”

Wajah Juno mengeras. “Kalau aku ingin memanfaatkan, aku sudah melakukannya sejak dulu, waktu dia paling hancur karena kamu.”

“Berhenti!” Dara bersuara keras, suaranya pecah. “Aku… aku nggak kuat dengar ini!”

Ia berjalan masuk ke halaman, memegang kepala, hujan membasahi seluruh tubuhnya. “Aku nggak mau kalian bertengkar karena aku!”

Raka dan Juno terdiam sejenak, tapi tensi di antara mereka semakin menebal seperti awan gelap.

“Dara…” Juno mendekati, tapi Raka menghadang dengan bahu.

“Jangan sentuh dia,” kata Raka dingin.

Juno menatap Raka tajam. “Kamu nggak punya hak mengatur hidupnya.”

“Aku mantannya.”

“Justru itu masalahnya.” Suara Juno rendah, dalam. “Kamu masa lalu.”

Raka mengepalkan tangan. “Dan kamu pikir kamu masa depannya?”

Juno tidak menjawab. Tapi ketegasan di matanya berkata lebih banyak.

Dan di saat itu…

Dara meledak.

“Hentikan!!”

Keduanya terkejut, langkah mereka berhenti.

Dara menangis di tengah hujan, tubuhnya gemetar seperti ingin runtuh.

“Kalian pikir aku tidak tersiksa? Kalian pikir aku senang kalian berdua berebut aku seperti barang?”

Raka menunduk. Juno membeku.

“Aku sudah terlalu lama menahan semuanya sendiri. Luka dari Raka. Perasaan baru pada Juno. Rasa takut mengulang masa lalu. Rasa bersalah membuat seseorang berharap…”

Suara Dara pecah sepenuhnya.

“…dan kalian berdua hanya menambah beban yang sudah berat ini.”

Juno akhirnya bersuara sangat pelan. “Maaf.”

Raka juga berbisik. “Aku… aku salah.”

Dara mengusap wajahnya. “Aku butuh waktu. Kalian dengar? Aku butuh waktu. Sendirian. Tanpa kalian muncul tiba-tiba. Tanpa tekanan. Tanpa konflik.”

“Dara…” Juno mendekat selangkah. “Aku bisa—”

“Juno.” Dara menatapnya penuh rasa bersalah. “Aku butuh kamu pergi dulu.”

Juno seperti ditusuk. Matanya melembut, tapi ada luka yang dalam. “Kalau itu yang kamu mau… aku pergi.”

Ia mundur beberapa langkah. Hujan menutupi air matanya.

“Jaga diri, Dar,” katanya lirih. “Kalau kamu butuh aku… aku selalu ada.”

Ia pergi tanpa menoleh lagi.

Raka bernapas berat. “Dara, aku—”

“Termasuk kamu, Rak.”

Raka membeku. “Oh…”

Dara menatapnya, mata merah, hati lelah. “Aku nggak bisa apa-apa kalau kamu terus menekan aku begini. Jadi tolong… kasih waktu. Jangan hubungi aku dulu.”

Raka membuka mulut, ingin membantah—tapi tatapan Dara menghentikannya.

Akhirnya, ia hanya berkata pelan, hampir tak terdengar, “Baik.”

Dan ia juga pergi.


Dara berdiri sendirian di halaman rumahnya. Hujan mengguyur tanpa belas kasihan. Tapi rasa di dalam dirinya jauh lebih deras dari hujan mana pun.

Ia akhirnya masuk, menutup pintu perlahan. Rumahnya terasa sepi, tapi untuk pertama kalinya, kesepian itu terasa… perlu.

Ia butuh ruang.
Ia butuh diam.
Ia butuh menemukan dirinya sendiri sebelum memilih siapa pun.

Di balik pintu, Dara berbisik pada dirinya sendiri:

“Cinta bukan cuma tentang siapa yang datang… tapi tentang siapa yang membuatku tidak runtuh.”

Malam itu, untuk pertama kalinya, Dara tidak memilih siapa pun.

Ia memilih dirinya sendiri.



Wednesday, November 19, 2025

Ruang Tanpa Jendela (๋ฒ„์ฐฝ ์—†๋Š” ๋ฐฉ)

Ruang Tanpa Jendela (๋ฒ„์ฐฝ ์—†๋Š” ๋ฐฉ)


EPISODE 1 — Pintu Ikseon-dong

Hujan turun deras, menciptakan gema kecil di gang sempit Ikseon-dong.
Han Jina, mahasiswi seni 23 tahun, pulang larut setelah shift di kafe.

Di ujung gang, ia melihat pintu kayu tua yang tak pernah ada sebelumnya.
Simbol seperti goresan kuku menghiasi kayunya.

Ketika disentuh, dunia membeku, napas hilang, dan pintu itu terbuka sendiri.
Kegelapan di dalamnya bernapas—dan berbisik:

“Akhirnya… kau kembali.”

EPISODE 2 — Makhluk dari Gelap

Sebuah siluet tinggi kurus muncul dari kegelapan.
Matanya putih polos seperti marmer retak.

“Sudah lama, Jina,” katanya.
“Kau datang padaku ketika dunia menolaknya.”

Jina gemetar. “Aku tidak kenal kau.”

Siluet itu mendekat, suaranya seperti kayu yang patah.
“Kau lupa—karena aku menghapus ingatan itu bersamaan dengan rasa sakitmu.”

Kegelapan di belakangnya menggeliat seperti hidup

EPISODE 3 — Kilasan DaeguJina dipaksa melihat masa kecilnya di Daegu:

— Dirinya kecil, terkunci di kamar gelap.
— Tubuhnya menggigil ketakutan pada ayah yang pemarah.
— Suara lembut dari kegelapan memanggilnya.
— “Kau ingin tenang? Berikan saja tanganmu.”

Dan ia menyentuh bayangan itu.

Jina berteriak ketika ingatan itu menghantam kesadarannya.

EPISODE 4 — Harga Ketenangan

Makhluk itu berkata lembut:

“Karena kesepakatan itu, kau tak pernah merasakan lapar, lelah, atau sakit. Itu hadiahku.”

Jina meraba dadanya yang berdegup kencang.

“Hadiah ada harganya,” lanjut makhluk itu.
“Dan waktumu sudah hampir habis.”

Ia mengulurkan tangan panjang kurus itu ke arah Jina.

EPISODE 5 — Lorong Tanpa Ujung

Kegelapan di balik pintu berubah menjadi lorong panjang, dingin seperti ruang bawah tanah Gwanghwamun.

Bayangan-bayangan bergantungan di dinding seperti lukisan kabur.
Beberapa berbisik, memanggil nama Jina.
Beberapa memohon.
Beberapa menyeringai.

Jina mencoba berlari—tapi lorong memanjang tanpa ujung.

Di belakang, makhluk itu mengejar tanpa suara.

EPISODE 6 — Bayangan yang Terlupakan

Bayangan-bayangan di lorong mulai membentuk wajah-wajah:

— Wajah ibunya yang pernah meninggalkannya.
— Wajah teman sekolah yang pernah membully.
— Wajahnya sendiri… menangis, seperti baru terjaga dari mimpi buruk.

“Hidupmu tenang karena aku menyimpan semua rasa sakitmu di tempat ini,” kata makhluk itu.

Jina baru sadar:
Ruang ini adalah penjara dari seluruh traumanya, terkumpul dan berwujud gelap.

EPISODE 7 — Ruang Tanpa Jendela

Mereka tiba di ruangan besar… benar-benar tanpa jendela.

Dindingnya terbuat dari bayangan padat.
Di tengah ruangan, ada kursi kayu tua.

“Duduklah,” kata makhluk itu. “Di sinilah kau dulu kubentuk ulang. Dan di sinilah kau akan kembali menjadi milikku.”

Jina mundur. “Aku tidak mau!”

Makhluk itu tersenyum lebar, mulutnya menyentuh sampai pipi.

“Kau tak punya pilihan.”

EPISODE 8 — Pengorbanan Rahasia

Terdengar suara langkah dari kegelapan.
Muncul seorang pria—Kang Minwoo, teman kuliah Jina yang diam-diam menyukainya.

Ia tampak pucat, basah oleh air hujan… dan takut.

“Aku melihatmu masuk ke gang itu… aku—aku mengikutimu,” katanya gemetar.

Makhluk itu tertawa.

“Bagus. Sumber waktu tambahan.”

Makhluk itu berusaha meraih Minwoo.

“Jina! Lari!” teriak Minwoo.

Untuk pertama kalinya, Jina merasa ketakutan yang nyata—hal yang dulu hilang darinya.

EPISODE 9 — Pertukaran

Makhluk itu berhasil menangkap Minwoo dengan tangan panjangnya.

“Berikan aku dia,” kata makhluk itu. “Dan kau bebas.”

Jina membeku.
Minwoo menatapnya dengan mata memohon.
Suara bayangan-bayangan di dinding bergema:

“Tukar dia… tukar dia… kau akan bebas…”

Namun Jina tiba-tiba teringat masa kecilnya—saat ia sendiri memohon bantuan dan tak ada yang datang.

“Aku tidak akan menyerahkan siapapun lagi!” teriak Jina.

Ia meraih tangan Minwoo dan menariknya sekuat tenaga.

Makhluk itu mengaum, dan ruangan mulai retak seperti kaca pecah.

EPISODE 10 — Pintu yang Masih Menunggu

Jina dan Minwoo berlari ke lorong yang runtuh.
Pintu di ujung tampak terbuka sedikit, seperti memberi jalan keluar.

Makhluk itu berteriak:
“Kau akan kembali! Ketenanganmu akan habis! Kau tak bisa hidup tanpa rasa sakitmu!”

Jina menoleh sekali.

“Aku lebih memilih rasa sakit… daripada hidup di kegelapanmu.”

Ia menutup pintu dengan sisa tenaga.

Gang Ikseon-dong kembali sunyi.
Namun pintu kayu itu kini ada di dinding, tidak hilang.

Kadang, Jina terbangun tengah malam dengan dada sesak… karena ia mulai merasakan lapar, sakit, takut—hal-hal yang dulu menghilang.

Dan kadang… ia mendengar suara dari balik pintu itu:

“Jina… waktumu belum selesai…”

Pintu itu tetap diam.
Namun rasanya seperti menunggu seseorang
—mungkin Jina…
mungkin orang lain—
untuk membukanya lagi.



Hilangnya Sebuah Harapan bag. 4



Ketika Bayangan Itu Kembali

Sudah hampir dua minggu sejak Juno mengatakan bahwa ia akan tetap tinggal. Dua minggu yang terasa seperti membawa Dara sedikit demi sedikit keluar dari kabut panjang dalam hidupnya. Hari-hari mereka sederhana—perjalanan kecil mencari objek foto, makan di warung pinggir jalan, duduk lama di dermaga tanpa perlu banyak bicara.

Namun ketenangan itu retak pada suatu sore yang tampak biasa.

Dara baru saja selesai memotret produk UMKM di sebuah rumah warga ketika ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar membuat seluruh tubuhnya membeku.

Raka.

Nama yang selama ini berusaha ia lupakan. Nama yang sudah ia buang bersama liontin bulan sabit ke laut.

Tapi di situ—berkedip dingin di layar—nama itu kembali.

“Dara? Kamu kenapa?” Juno mendekat setelah melihat ekspresi Dara berubah. “Mukamu tiba-tiba pucat.”

Dara menelan ludah. “Aku… ini. Ada pesan.”

“Dari siapa?”

Dara tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan ponselnya.

Juno melihat nama di layar, dan dalam sepersekian detik, ketenangan di wajahnya runtuh. Tatapannya mengeras, tapi ia mengembalikan ponsel itu tanpa berkata apa-apa.

“Buka aja,” kata Juno pelan.

Dara mengingat napas, lalu membuka pesan itu.

Raka:
Dara… aku di kotamu.
Tolong temui aku. Aku butuh bicara.

Dara merasa dadanya membeku dan panas dalam waktu yang sama. Kebingungan melonjak—antara marah, takut, penasaran, dan luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Juno berdiri diam di sampingnya. Tidak menekan. Tidak memaksa. Tapi dari rahangnya yang mengencang, Dara tahu Juno ikut tersayat.

“Dia… minta ketemu,” kata Dara, suaranya bergetar tipis.

“Dan kamu mau?” suara Juno tenang—atau berusaha terlihat tenang.

“Aku… nggak tahu.” Dara memejamkan mata. “Bagian dari diriku ingin pergi saja. Tapi ada bagian lain… yang butuh jawaban.”

Juno menatapnya lama. “Kalau kamu butuh jawaban, aku ngerti.”

Dara membuka mata, menatapnya. “Kamu nggak marah?”

“Marah,” kata Juno jujur. “Tentu saja marah. Tapi aku… juga tahu kamu nggak bisa maju tanpa menyelesaikan belakangmu.”

Ada rasa hangat yang muncul. Tapi juga ada sesuatu lain—takut bahwa ketenangan yang baru dibangun bisa hancur sewaktu-waktu.


Pertemuan itu terjadi di sebuah kafe kecil dekat alun-alun kota. Dara datang dengan jantung berat seperti batu. Raka sudah duduk di meja pojok, mengenakan jaket jeans dan kemeja putih, tampak lebih kurus dibanding terakhir kali Dara melihatnya.

Ketika ia berdiri, senyumnya tampak rapuh. “Dara…”

Dara menahan napas. Suara itu—akrab tapi menyakitkan.

“Kenapa kamu datang?” tanya Dara langsung. Ia tidak ingin basa-basi.

Raka menghela napas panjang. “Aku… aku salah. Aku sadar itu. Aku pergi tanpa bilang apa-apa, dan aku tahu aku nyakitin kamu. Tapi aku kembali karena aku—”

“Jangan,” potong Dara cepat. “Jangan bilang karena kamu menyesal. Jangan bilang kamu ingin semuanya kembali seperti dulu.”

Raka terdiam. Tatapannya gelisah. “Aku cuma… aku rindu kamu. Dan aku ingin menjelaskan kenapa aku pergi.”

Dara menahan tangis yang tak pernah ia izinkan keluar selama berbulan-bulan. “Kenapa? Kenapa kamu tinggal pergi? Kenapa tidak bilang apa-apa, bahkan satu pesan pun tidak?”

Raka menggenggam ujung meja. “Aku takut, Dar. Takut menghancurkan harapanmu. Takut bilang kalau aku… merasa tidak siap melanjutkan hubungan kita.”

“Lalu kamu memilih pergi begitu saja?” suara Dara meninggi, emosi yang selama ini terkubur akhirnya pecah. “Membiarkan aku menunggu, mencari, berharap?”

“Aku bodoh,” kata Raka, matanya berkaca-kaca. “Setiap hari aku nyesel. Aku lihat postinganmu… dan aku sadar aku sudah kehilangan seseorang yang berarti. Makanya aku ke sini. Aku ingin memperbaiki semua.”

Dara memejamkan mata. Ada bagian dari dirinya yang dulu sangat ingin mendengar kalimat itu. Tapi sekarang—yang ia rasakan justru gemuruh kemarahan dan ketakutan yang bercampur jadi satu.

“Raka…” Dara membuka mata perlahan. “Aku bukan orang yang sama lagi.”

“Aku tahu,” kata Raka cepat. “Tapi kita bisa mulai dari awal.”

Nama itu muncul dalam benak Dara—pelan tapi jelas.

Juno.

Wajahnya ketika menunggu Dara menjawab pesan Raka. Cara ia diam karena tidak ingin mengikat Dara dengan perasaannya sendiri. Sikapnya yang selalu ada tanpa banyak kata.

Dara menggigit bibir. “Ada seseorang di hidupku sekarang.”

Raka menegang. “Siapa?”

“Juno.”

Warna di wajah Raka memudar. “Juno? Asistenmu itu? Pria yang selalu nempel sama kamu?”

“Dia bukan asisten,” kata Dara tegas. “Dia teman. Orang yang… selalu ada waktu aku hancur karena kamu.”

Raka menghela napas tajam. “Jadi kamu pilih dia?”

Pertanyaan itu seperti pisau yang dilempar begitu saja. Tapi sebelum Dara sempat menjawab, sebuah suara muncul dari belakang mereka.

“Kalau kamu mau menyalahkan seseorang, salahkan diri kamu sendiri.”

Dara membalik cepat.

Juno berdiri di pintu kafe.

Ia tidak berteriak. Tidak marah. Tapi matanya tajam—tenang, namun penuh tensi, seperti seseorang yang sedang menahan badai dalam dirinya.

“Juno…” Dara berbisik. “Kenapa kamu ke sini?”

“Aku nggak mau kamu sendirian,” jawab Juno. “Dan aku nggak mau dia menyalahkan kamu seolah kamu yang berubah.”

Raka berdiri, wajahnya keras. “Ini urusan kami berdua.”

“Dara bukan barang,” kata Juno pelan namun tegas. “Dia punya hak menentukan siapa yang boleh bicara di hidupnya.”

Tensi ruangan meningkat. Beberapa pelanggan mulai melirik.

Dara menelan ludah. “Juno… tolong.”

Juno menatapnya sejenak. Tatapannya melunak. “Aku nggak akan ikut campur. Aku cuma… nggak tahan lihat kamu sendirian menghadapi dia.”

Raka mendengus. “Kamu pikir kamu siapa di hidupnya?”

Pertanyaan itu menghantam Juno seperti pukulan. Tapi ia tidak mundur. “Aku orang yang tinggal ketika kamu pergi.”

Kata itu—tinggal—membuat dada Dara bergetar.

Raka memandang Dara. “Benarkah? Kamu lebih memilih dia?”

Dara mengeluarkan napas gemetar. “Raka… aku tidak tahu. Aku masih bingung. Kamu datang begitu tiba-tiba.”

Juno seperti tertusuk kata-kata itu, tapi ia hanya menutup mata sejenak. “Aku ngerti. Kamu masih butuh waktu.”

“Dan kamu,” Raka menatap Juno tajam. “Kamu bikin dia bingung.”

Juno tersenyum pahit. “Kalau kehadiranku bikin kamu panas, berarti kamu masih merasa punya hak atas dia.”

Dara berdiri cepat, tubuhnya gemetar. “Stop! Aku bukan hadiah untuk diperebutkan!”

Keduanya terdiam.

Dara menarik napas panjang, air mata jatuh tanpa ia sadari. “Aku… aku butuh waktu. Aku nggak bisa memutuskan apa pun sekarang. Kamu,” ia menatap Raka. “Aku perlu proses untuk menerima kehadiranmu lagi. Dan kamu,” ia menatap Juno. “Jangan terlalu menjaga aku sampai aku merasa tidak bisa bernapas.”

Juno menunduk, sakit tapi mengerti. “Oke.”

Raka memalingkan wajah, rahangnya mengeras. “Aku tunggu jawabannya, Dara.”

Dara melangkah mundur satu langkah. “Aku nggak janji apa-apa.”


Malam itu, Dara pulang sendirian. Juno menawarkan mengantar, tapi ia menolak. Ia butuh ruang untuk berpikir, untuk bernapas, untuk menenangkan hatinya yang terasa seperti kapal diterjang badai.

Setibanya di rumah, ia duduk di lantai, memeluk lutut, dan untuk pertama kalinya setelah lama, ia menangis keras—bukan karena patah hati, tapi karena confusion, tension, dan ketakutan untuk melukai seseorang yang ia mulai sayangi.

Di luar sana, dua pria menunggu jawabannya.

Dan Dara tahu satu hal:

Kadang cinta bukan tentang memilih siapa yang membuatmu bahagia —
tapi siapa yang tidak membuatmu hancur lagi.


Sambungan Klik DISINI

Hilngnya Sebuah Harapan bag. 3



Hilangnya Sebuah Harapan – Bagian 3: Ketika Masa Lalu Mengetuk Pintu

Tiga minggu setelah Juno memutuskan untuk tetap tinggal, hidup Dara mulai terasa stabil kembali. Ia bekerja, ia berkarya, dan ia belajar membuka dirinya sedikit demi sedikit. Juno sering datang membantu, kadang hanya sekadar menemani minum kopi sambil membahas foto-foto yang baru ia ambil.

Perlahan-lahan, Dara merasa dirinya pulih. Luka itu sudah tidak setajam dulu. Ada ruang baru yang perlahan terisi oleh kehadiran Juno yang selalu hangat dan sabar.

Namun hidup punya caranya sendiri untuk menguji hati yang baru saja sembuh.

Dan ujian itu datang pada suatu sore yang tidak ia duga.


Dara baru selesai memotret produk untuk klien di halaman studionya ketika sebuah mobil hitam berhenti di depan pagar. Dara tidak langsung mengenalinya — sampai pintu mobil itu terbuka.

Raka turun.

Raka.
Pria yang dulu ia cintai setengah mati.
Pria yang membuatnya runtuh.
Pria yang tak pernah ia sangka akan kembali.

Dara terpaku. Udara seperti berhenti bergerak.

Raka berjalan mendekat, wajahnya lebih kurus namun matanya tetap tajam seperti dulu. Ada rasa bersalah yang begitu jelas di tatapannya.

“Dara...” suaranya rendah dan pelan. “Aku… akhirnya menemukan kamu.”

Dara menarik napas gemetar. “Kamu… ngapain ke sini?”

Raka menatap sekeliling, seolah ingin memastikan mereka berdua saja. “Aku mau ngomong. Kita harus bicara.”

Dara menggeleng pelan. “Aku rasa… nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.”

“Dara, tolong.” Raka maju selangkah, dan langkah itu saja sudah cukup untuk membuat dada Dara menegang. “Aku minta kesempatan. Cuma buat jelasin.”

“Untuk apa? Kamu pergi tanpa kata, Raka. Kamu hilang begitu saja.”

“Aku tahu.” Raka menunduk, memegang kepalanya. “Dan aku nyesel. Sangat nyesel.”

Dara menggigit bibir. Luka lama yang sudah ia kubur, tiba-tiba terasa terbuka kembali.

“Aku minta maaf, Dara,” suara Raka pecah. “Aku salah ninggalin kamu. Semuanya kacau waktu itu. Aku pengecut. Tapi aku kembali. Karena kamu satu-satunya yang nggak bisa aku lupain.”

Dara menutup mata. Kata-kata itu… dulu adalah doa yang selalu ia inginkan. Dan kini ketika ia mendengarnya, anehnya tidak lagi terasa seperti mimpi indah.

Justru terasa seperti beban.

Sebelum Dara sempat menjawab, sebuah suara datang dari dalam studio.

“Dara, kamu butuh bantuan—?”

Juno muncul membawa tripod, dan langsung membeku ketika melihat Raka.

Raka menatapnya dari kepala sampai kaki. “Kamu siapa?”

Juno menatap Dara. Dara balas menatapnya—gelisah, bingung, takut. Dan dari tatapan itu, Juno langsung tahu.

Ia tahu siapa Raka.
Ia tahu kenapa Dara tampak seperti kehilangan suara.
Ia tahu luka lama itu masih ada, meski samar.

Juno meletakkan tripod perlahan. “Aku Juno,” katanya tenang. “Temannya Dara.”

Raka mengangkat alis sinis. “Teman?”

Juno menahan diri agar tidak terpancing. Ia menatap Dara seolah bertanya kamu baik-baik saja?, dan Dara memberi anggukan kecil—meskipun jelas ia tidak baik-baik saja.

Raka tersenyum miring. “Baiklah. Teman. Aku cuma datang untuk bicara. Gak ada hubungannya sama kamu.”

Juno tidak membalas. Ia tahu ini bukan saatnya berdebat. Tetapi ia juga tidak pergi.

Ia berdiri di dekat Dara—cukup dekat untuk memberi kekuatan, tapi cukup jauh agar tidak terlihat menguasai.

Raka memperhatikan itu, dan matanya mengeras. “Jadi… begini ya sekarang?”

“Raka, jangan mulai,” ucap Dara pelan tapi tegas.

“Kalau begitu,” Raka menatap Dara lagi, “aku minta waktu. Cuma sebentar. Beri aku kesempatan untuk jelasin.”

Dara menelan ludah. Ia menatap Juno. “Jun… boleh kamu tunggu di dalam sebentar?”

Juno menatapnya lama. Ada rasa khawatir yang dalam, tapi ia mengangguk. “Aku di dalam kalau kamu butuh apa pun.”

Ketika Juno menutup pintu studio, sesuatu dalam hati Dara seperti ditarik ke dua arah berbeda.

Dan perang itu baru saja dimulai.


Raka dan Dara duduk di bangku kayu depan studio.

Raka memulai, suaranya berat. “Dara… aku nggak minta kita balik seperti dulu. Aku tahu aku salah. Tapi aku nggak bisa biarin kamu pergi dari hidupku sepenuhnya.”

Dara menatap tanah. “Kamu yang pergi duluan.”

“Aku… waktu itu kacau. Kerjaanku berantakan, keluarga bermasalah, aku nggak tahu harus cerita dari mana. Aku merasa bukan apa-apa buat kamu.”

“Jadi kamu hilang begitu aja?” tanya Dara getir.

“Aku takut jadi beban kamu,” Raka menjawab cepat. “Dan aku bodoh. Aku sadar sekarang. Kamu adalah rumahku, Dara.”

Dara terdiam lama.

Dulu, kata-kata itu akan membuatnya menangis bahagia. Tapi sekarang… rasanya berbeda. Ia merasakan sakit, iya. Tapi di bawah itu semua, ada kehangatan lain—seseorang lain—yang telah menggantikan rasa kehilangan.

Raka memperhatikan wajah Dara, lalu bertanya pelan:

“Dara… apa kamu masih sayang sama aku?”

Pertanyaan itu menusuk. Dara tidak langsung menjawab. Ia butuh waktu bernapas. Ia butuh waktu memahami rasa yang kini kacau.

Dan sebelum ia sempat membuka mulut…

Pintu studio terbuka.

Juno keluar lagi, membawa jaket Dara. “Dara, kamu kedinginan.”

Gerakannya sederhana. Tapi perhatian itu terasa. Terlihat.

Raka menatapnya tajam. “Kamu selalu ada, ya?”

Juno menunduk sedikit. “Kalau Dara butuh, iya.”

Raka berdiri. “Jadi kamu yang gantiin aku?”

Juno menggeleng. “Aku nggak gantiin siapa pun. Aku cuma ada di saat dia jatuh. Itu saja.”

Raka mendekat, nadanya naik. “Dan kamu pikir kamu lebih baik dari aku?”

“Bukan urusan aku,” jawab Juno pelan.

“Tapi kamu dekat sama dia. Kamu suka sama dia. Aku tahu itu dari cara kamu lihat dia.”

Juno tidak membantah.

Dara menatap keduanya dengan jantung berdegup kencang.

Raka mendekatkan wajahnya pada Juno. “Kalau kamu bikin dia jatuh cinta lagi, kamu siap tanggung jawab?”

Juno menghela napas, bukan karena takut, tapi karena tidak ingin memanas-manasi situasi.

“Tanggung jawab apa?” Juno menatap balik. “Tanggung jawab untuk tidak pergi? Untuk tidak menghilang? Untuk tetap ada? Ya. Aku siap.”

Raka terdiam.

Dan Dara… tidak tahu kenapa, tapi hatinya bergetar.

Karena jawaban itu jelas. Jujur. Dan penuh kepastian yang dulu tidak pernah ia dapatkan.

Raka akhirnya memalingkan wajah.

“Aku akan kembali besok,” katanya pada Dara. “Aku gak selesai ngomong.”

Raka masuk ke mobilnya dan pergi tanpa menunggu jawaban.

Dara berdiri di sana, tercekat dalam badai emosinya sendiri.

Setelah mobil itu menghilang, Juno mendekat. “Kamu… oke?”

Dara menunduk, suaranya serak. “Aku… nggak tahu.”

Juno menatapnya penuh pengertian. “Kalau kamu butuh waktu, ambillah. Kalau kamu butuh aku pergi sebentar, bilang saja. Aku nggak akan marah.”

Dara menggeleng cepat. “Jangan pergi.”

Juno terkejut.

Dara menatapnya, mata berkaca-kaca. “Jangan pergi, Jun. Aku belum tahu apa yang aku rasain… tapi aku tahu kalau kamu pergi sekarang, aku bakal takut lagi.”

Juno pelan-pelan mengangguk, wajahnya melembut. “Aku di sini. Aku tetap di sini.”

Dan untuk pertama kalinya… Dara merasa siap menghadapi masa lalu.

Karena kali ini, ia tidak berdiri sendirian.


Sambungannya Klik Disini

Hilangnya Sebuah Harapan bag. 2

.


Hilangnya Sebuah Harapan – Bagian 2: Ketika Cahaya Itu Muncul

Malam turun di Pantai Kencana seperti tirai lembut yang menutup panggung hari itu. Setelah melepaskan liontin bulan sabit ke laut, Dara berdiri diam cukup lama. Ia merasa seakan seluruh penantian, luka, dan kelelahan yang ia simpan selama berbulan-bulan akhirnya menemukan tempat untuk pergi.

Juno tetap berdiri di sampingnya, tidak mengatakan apa-apa. Hanya hadir, seperti cahaya kecil yang perlahan-lahan menerangi ruang gelap dalam hati Dara.

“Juno…” Dara akhirnya berbicara, suaranya lirih. “Terima kasih sudah ada di sini.”

Juno menunduk sedikit, tersenyum hangat. “Aku cuma nggak mau kamu melalui ini sendirian.”

Dara menatap laut yang gelap, lalu menarik napas dalam. “Ternyata yang paling menyakitkan bukan kehilangan seseorang, tapi berusaha mempertahankan sesuatu yang sebenarnya sudah tiada.”

Juno terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Kamu masih menyimpan banyak luka, ya?”

“Masih…” jawab Dara, jujur. “Tapi aku… aku merasa lebih ringan.”

“Karena kamu berani melepaskan,” kata Juno. “Dan itu hal yang nggak semua orang bisa lakukan.”

Dara tersenyum kecil. “Aku takut… tapi aku juga capek. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa langkahku nggak lagi terikat pada seseorang.”

Ia menoleh pada Juno. “Ternyata rasanya… lega.”

Juno menatapnya, matanya berbinar kecil. “Itu bagus. Kamu layak bahagia, Dara.”

Ada sesuatu di kalimat itu yang membuat hati Dara hangat. Bukan perasaan yang menggelegar, bukan pula percikan tiba-tiba. Lebih seperti api kecil yang mulai menyala setelah sekian lama padam.

Sederhana. Tenang. Nyaman.


Keesokan harinya, Dara bangun lebih pagi dari biasanya. Cahaya matahari menembus tirai jendela studionya. Ruangan itu masih berantakan dengan peralatan fotografi yang berserakan, namun entah kenapa, semuanya terlihat lebih hidup hari itu.

Ia membuat teh hangat dan duduk di meja kerjanya. Biasanya ia akan langsung membuka pesan—menunggu sesuatu dari Raka. Tapi hari ini… tidak ada dorongan itu.

Justru ia membuka foto-foto lama yang pernah ia ambil bersama Juno di berbagai acara komunitas.

Ada foto Juno tertawa ketika ia tanpa sengaja tumpahkan kopi ke kakinya sendiri. Ada foto Juno memegang lampu portable saat membantu Dara mengambil gambar di malam hari. Ada foto Juno berdiri canggung di tengah hujan karena Dara memintanya jadi model dadakan.

Dan yang membuatnya terdiam: dalam banyak foto itu, Juno selalu melihat ke arah Dara.

Selalu.

Seolah tanpa sadar, ia selalu mencari keberadaannya.

Dara menatap layar laptop itu lama. Pipinya hangat.

Mungkin selama ini ia yang tidak pernah benar-benar melihat.


Beberapa hari berlalu. Dara mulai kembali bekerja dengan senyuman yang lebih tulus. Ia mengerjakan proyek kecil—foto katalog untuk UMKM lokal. Juno sering mampir, menawarkan bantuan mengangkat barang atau sekadar menemani.

Dara tidak menolak. Dan Juno tidak pernah memaksa.

Suatu sore, setelah memotret di desa sebelah, Dara dan Juno duduk di tepi dermaga kecil. Sinar keemasan matahari memantul di permukaan air, dan angin sore membuat suasana terasa hangat dan damai.

“Besok aku pergi ke Bandung,” kata Juno tanpa banyak basa-basi.

Dara menoleh cepat. “Pergi? Untuk apa?”

“Ada tawaran kerja. Editor foto di studio besar.” Juno tersenyum tipis. “Kesempatan bagus.”

“Oh…” Dara mengangguk pelan, menahan sesuatu yang tiba-tiba menekan dadanya. “Bagus dong…”

“Kamu kelihatan nggak senang.”

“Aku… bukan nggak senang.” Dara menunduk. “Cuma… tiba-tiba saja.”

Juno menghela napas. “Aku ragu untuk nerima, sebenarnya.”

“Kenapa?” tanya Dara cepat.

“Karena aku… masih ingin ada di dekatmu.”

Kata-kata itu membuat Dara membeku sesaat.

Juno mengusap belakang kepalanya, seperti sedang bingung sendiri. “Bukan karena kamu butuh aku atau apa. Tapi… aku takut pergi tanpa bilang apa-apa. Takut kamu salah paham. Takut kamu berpikir aku pergi kayak Raka.”

Dara terperangah, dadanya menghangat. “Juno, kamu bukan dia.”

Juno tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu kamu baru saja belajar melepaskan. Aku nggak mau jadi alasan kamu merasa ditinggalkan lagi.”

Dara menatap wajahnya lama. Juno benar—itu bukan sekadar rasa takut ditinggal; ini tentang seseorang yang peduli cukup dalam untuk tidak ingin melukai lagi.

“Berapa lama kamu akan di sana?” tanya Dara akhirnya.

“Kalau cocok, bisa lama.”

Dara menelan ludah. “Terus… kamu mau aku bilang apa?”

“Jujur aja.” Juno menatap matanya. “Kamu ingin aku pergi atau tetap di sini?”

Pertanyaan itu seperti menyalakan sesuatu dalam diri Dara.

Ia tidak ingin Juno pergi. Ia tidak ingin kehilangan seseorang yang selama ini menjadi tempatnya pulang dalam diam. Tapi ia juga tidak ingin menahan seseorang mengejar impiannya—ia pernah melakukan itu pada Raka, dan ia tahu rasanya.

Setelah berpikir cukup lama, Dara menjawab pelan:

“Aku ingin kamu bahagia, Jun.”

Juno mengerutkan dahi. “Itu… nggak menjawab apa-apa.”

Dara tersenyum kecil. “Kalau kamu tanya hatiku, aku ingin kamu tetap di sini. Karena… aku nyaman sama kamu. Karena kamu orang yang selalu ada waktu aku jatuh. Karena kamu bikin aku merasa tidak sendirian.”

Juno terdiam, menatapnya tanpa berkedip.

“Tapi…” Dara melanjutkan, “kalau kamu tanya logikaku, aku ingin kamu pergi. Kamu berhak dapat masa depan yang lebih besar.”

Juno menghela napas panjang. “Jadi… yang mana?”

Dara menatap mata Juno. Mata yang selalu hangat, sabar, dan ada untuknya.

“Hati,” jawabnya lirih. “Aku jawab pakai hati.”

Juno tersenyum—senyum yang perlahan melebar, penuh kelegaan dan kebahagiaan. Senyum paling tulus yang pernah Dara lihat.

“Kalau begitu,” kata Juno, “aku tetap di sini.”

Dara terkejut. “Jun—”

Juno menggeleng. “Aku udah lama tahu apa yang bikin aku bahagia. Bukan studio besar, bukan kota besar. Tapi berada dekat dengan orang yang aku peduli.”

Dara merasa matanya panas. “Aku belum siap untuk cinta baru… aku takut mengecewakan kamu.”

Juno menatapnya lembut, lebih lembut dari cahaya senja. “Aku nggak minta kamu membalas apa-apa sekarang. Kita jalan pelan-pelan. Aku cuma ingin kamu tahu… kamu tidak perlu menghadapi apa pun sendirian.”

Untuk pertama kalinya sejak hatinya hancur, Dara merasa tidak takut.

Ia tersenyum. “Terima kasih, Jun.”

Juno tertawa kecil. “Sudah lama aku pengen lihat kamu tersenyum kayak gitu.”

Dara mengusap pipinya. “Kayak apa?”

“Kayak seseorang yang akhirnya menemukan cahaya setelah badai.”

Mata mereka bertemu. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Tidak ada deklarasi cinta besar.

Hanya dua hati yang perlahan menemukan jalan menuju satu sama lain.

Dan senja itu—senja yang dulu menjadi saksi patah hatinya—kini menjadi saksi sebuah awal baru.

Awal yang datang dari keberanian untuk melepaskan, dan keberanian untuk membuka diri lagi.



Bagian 3 Klik Disini 

Hilangnya Sebuah Harapan



Hilangnya Sebuah Harapan

Senja di tepi pantai Kencana selalu menjadi tempat pelarian bagi Dara. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu duduk memeluk lutut, menatap garis cakrawala yang seakan-akan menghilang di balik warna jingga. Ombak menghempas lembut, namun hatinya tetap bergolak. Hari itu ia kembali menerima kabar yang meruntuhkan seluruh harapan yang selama ini ia perjuangkan.

Raka tidak datang.

Sudah tiga bulan lamanya janji itu tergantung di udara—janji yang dikatakan dengan mata yang bergetar dan suara yang hampir berbisik, seolah takut dirinya sendiri mendengar. “Tunggu aku. Aku akan kembali setelah urusan di Jakarta selesai.” Kata-kata itu terus memantul di kepala Dara, seperti kaset lama yang diputar ulang tanpa henti.

Namun kenyataannya, tidak ada kepulangan. Tidak ada pesan. Tidak ada tanda-tanda bahwa lelaki yang ia cintai masih memikirkan dirinya.

Dara menggenggam liontin berbentuk bulan sabit yang pernah diberikan Raka. Untuk menerangi hari gelapmu, kata Raka waktu itu. Ironis, pikir Dara. Cahaya itu justru meredup sejak kepergian lelaki itu.


Raka datang ke hidup Dara seperti badai pada musim kemarau—tiba-tiba, tetapi membawa kesejukan yang tidak disangka-sangka. Mereka pertama kali bertemu ketika Dara sedang membuka stan fotografi kecil di festival budaya pantai. Saat itu kamera Dara rusak tepat ketika pelanggan datang beruntun, membuat dirinya panik setengah mati.

Raka, yang kebetulan lewat, menawarkan bantuan. “Aku teknisi kamera. Mau coba aku lihat?” katanya waktu itu.

Dara yang cemas mengangguk cepat. Dengan cekatan, Raka memperbaiki bagian dalam kamera yang macet. Ketika kamera itu menyala kembali, Dara menatapnya dengan mata berbinar.

Sejak hari itu, hubungan mereka berkembang seperti ombak yang berkejaran. Tenang tetapi tidak pernah berhenti bergerak. Mereka menghabiskan waktu memotret matahari terbit, berbagi cerita masa kecil, hingga diam tanpa kata sambil menikmati suara laut.

Namun hubungan itu berubah sejak Raka menerima tawaran pekerjaan besar di Jakarta. Ia ragu, tetapi Dara mendukung. “Pergilah. Kejar mimpimu,” katanya sambil tersenyum, padahal dalam hatinya ia takut kehilangan.

Yang tidak ia sangka, ketakutannya menjadi kenyataan.


Satu bulan setelah kepergian Raka, pesan-pesannya mulai jarang dibalas. Dua bulan kemudian, hanya centang biru tanpa jawaban. Dan kini, di bulan ketiga, kesunyian itu berubah menjadi pisau yang menggores perlahan.

Dara menutup matanya. Setetes air jatuh di pipinya, entah itu dari angin laut atau dari matanya sendiri. Ia tidak ingin menangis lagi, tapi ia tidak bisa menghentikannya.

“Dara?”

Sebuah suara lembut memanggil dari belakang. Dara menoleh. Ternyata itu Juno, sahabat masa kecilnya yang selalu muncul di saat ia hampir menyerah.

“Kamu sendirian lagi?” tanya Juno sambil duduk di sebelahnya.

“Seperti biasa,” jawab Dara lirih.

Juno menatap wajahnya dengan prihatin. “Kamu masih menunggunya?”

Dara tidak menjawab. Keheningan itu cukup sebagai jawaban.

Juno menghela napas panjang. “Aku tahu kamu mencintainya, Ra. Tapi menunggu sesuatu yang tidak pasti bisa menyiksa.”

“Kamu pikir aku nggak tahu?” Dara menoleh dengan mata yang memerah. “Aku cuma… masih berharap.”

Juno menatap liontin di tangan Dara. “Kadang harapan itu bukan hilang. Kita saja yang terlalu erat memegangnya, sampai tidak sadar kalau kenyataannya berbeda.”

Dara menunduk. Kata-kata itu menusuk sekaligus menenangkan. Juno selalu seperti itu—(tepat) saat ia hampir jatuh, sekaligus orang yang sulit ia lihat sebagai lebih dari sekadar sahabat… atau mungkin, orang yang selalu ia abaikan karena hatinya sibuk mengejar sesuatu yang menjauh.


Hari berganti minggu, dan Dara semakin jarang tersenyum. Ia tenggelam dalam pekerjaannya, memaksa dirinya sibuk agar pikirannya tidak melayang pada sosok yang hilang tanpa kabar. Namun setiap kali malam tiba, kesunyian memerangkapnya kembali.

Sampai suatu hari, Dara menerima pesan singkat.

Dari Raka.

Hanya satu kalimat:
“Maafkan aku.”

Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Tidak ada tanda bahwa ia akan kembali.

Anehnya, pesan itu bukan membuatnya lega. Justru semakin membuat hatinya hancur. Maaf tanpa penjelasan seperti kertas kosong—tidak bisa menutupi apapun.

Dara menatap layar ponselnya lama, kemudian meletakkannya di meja. Nafasnya bergetar. Ia merasa seperti seseorang yang berjuang mempertahankan pintu rumah yang porak-poranda setelah badai, hanya untuk menemukan bahwa yang tersisa hanya reruntuhan.

Di saat itulah, Juno datang mengetuk pintu studionya.

“Kamu sudah dengar kabar tentang Raka?” tanya Juno hati-hati.

Dara mengerutkan dahi. “Maksudmu?”

Juno menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan apakah ia harus mengatakannya. Akhirnya ia menarik napas. “Dia kembali ke kota. Aku lihat dia di pelabuhan tadi pagi.”

Jantung Dara berdegup keras. Seketika seluruh tubuhnya gemetar. “Dia… kembali?”

Juno mengangguk pelan.

Tanpa banyak pikir, Dara mengambil jaket dan berlari keluar. Kakinya seakan bergerak sendiri, mengikuti harapan yang selama ini ia jaga. Ia ingin jawaban. Ia ingin penjelasan. Ia ingin tahu apakah semua yang ia perjuangkan selama ini masih berarti.

Pelabuhan hanya berjarak lima belas menit berjalan kaki dari studionya, tetapi bagi Dara, jarak itu terasa seperti perjalanan paling panjang dalam hidupnya.

Sesampainya di sana, Dara melihat kerumunan penumpang yang baru turun dari kapal. Ia menelusuri wajah demi wajah, berharap menemukan sosok yang tidak pernah ia lupakan.

Dan akhirnya, ia melihatnya.

Raka berdiri di dekat tangga kapal, membawa ransel besar. Tetapi yang membuat Dara tertegun adalah perempuan yang berdiri di sampingnya—memegang lengannya.

Dara berhenti melangkah.

Dunia seakan membisu.

Raka tidak melihatnya. Atau mungkin ia pura-pura tidak melihat. Perempuan itu tertawa kecil sambil merapikan kerah jaket Raka. Gerakan yang begitu akrab—terlalu akrab.

Lalu Raka menggenggam tangan perempuan itu.

Dara merasa seolah dadanya diremas. Tidak ada amarah. Tidak ada teriakan. Hanya rasa kosong yang menelan seluruh perasaan lain.

Selama ini ia menunggu seseorang yang sudah melanjutkan hidup.

Ia menunggu harapan yang sebenarnya sudah tiada.


Dara mundur perlahan, tidak ingin terlihat. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. Kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh dari pelabuhan, kakinya terasa berat seperti membawa seluruh beban kecewa.

Ketika ia sampai di tepi pantai—tempat yang selalu ia datangi saat hatinya kacau—ia merasakan angin laut menerpa wajahnya. Dulu suara ombak menenangkannya. Kini hanya menegaskan bahwa hidup terus bergerak, bahkan ketika hatinya berhenti.

Tidak lama kemudian, Juno menyusulnya. Ia tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di samping Dara.

“Aku melihatnya,” kata Dara akhirnya, suaranya hampir tak terdengar.

Juno menoleh, namun tidak bertanya. Ia membiarkan Dara melanjutkan.

“Tiga bulan aku menunggu jawaban. Tiga bulan aku menggenggam harapan itu… sementara dia sudah menggenggam tangan orang lain.” Dara tertawa kecil, getir. “Aku bodoh ya?”

“Tidak,” jawab Juno pelan. “Kamu hanya mencintai seseorang yang tidak tahu cara menjaga hatimu.”

Dara menunduk, bahunya bergetar. Untuk pertama kalinya sejak kepergian Raka, ia menangis tanpa menahan diri. Juno mendekat, merangkul bahunya perlahan.

“Kamu tidak kehilangan apa-apa, Dara. Justru kamu akhirnya menemukan kenyataan agar kamu bisa berhenti terluka.”

Dara mengusap air matanya. “Tapi rasanya sakit…”

“Setiap harapan yang hilang memang menyakitkan,” ujar Juno. “Tapi kadang dari kehilangan itulah kita menemukan jalan baru.”

Dara menatap Juno. Mata laki-laki itu penuh ketulusan—sesuatu yang jarang ia perhatikan karena terlalu sibuk menunggu orang lain.

Untuk pertama kalinya, Dara melihat Juno bukan hanya sebagai sahabat yang selalu hadir ketika ia jatuh. Ada sesuatu yang hangat, lembut, dan nyata— sesuatu yang selama ini ia abaikan.

“Juno…” Dara berbisik, tapi kalimatnya terhenti.

Juno tersenyum kecil. “Aku nggak minta kamu membalas perasaan apapun sekarang. Aku cuma mau kamu tahu… kamu tidak sendirian.”

Dara menghela napas panjang. Butuh waktu untuk meluruhkan luka yang dalam, tetapi ia tahu satu hal: ia harus belajar melepaskan.

Liontin bulan sabit itu sudah lama menjadi simbol harapan samar. Dara memegangnya untuk terakhir kali. Lalu, perlahan, ia lepaskan ke laut. Ombak membawa benda kecil itu pergi, hanyut bersama kenangan yang tidak lagi ingin ia pertahankan.

Saat langit berubah oranye keemasan, Dara merasa sesuatu yang berat terangkat dari dadanya. Kehilangan itu masih terasa, tetapi tidak lagi menghancurkan. Justru membuka ruang untuk sesuatu yang baru.

Mungkin bukan hari ini. Mungkin bukan besok. Tapi suatu saat, ia akan kembali mencintai—tanpa menunggu yang tidak pasti.

Di sampingnya, Juno tetap berdiri. Tidak memaksa. Tidak mendesak. Hanya hadir.

Dan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, Dara tersenyum tipis.

Bukan karena harapannya kembali.

Tapi karena ia akhirnya siap membiarkannya hilang.

Klik DISINI lanjutannya

Saturday, November 15, 2025

Dia Cinta Ibuku, Remuk Hatiku


Episode 1 — Rahasia di Balik Pintu Ruang Tamu

Namaku Raka, 22 tahun. Hidup hanya berdua dengan ibuku, Ibu Mira, sejak ayah meninggal lima tahun lalu. Ibuku masih muda, baru 42 tahun, dan wajahnya sering dikira kakak perempuanku.

Hidup kami sederhana—dan tenang. Sampai seseorang datang mengubah segalanya.

Namanya Davin, lelaki 27 tahun yang kukenal sebagai senior di kampus. Sejak pertama bertemu, ia selalu tampak hangat, penuh perhatian. Aku kira… dia menyukaiku. Cara ia menatapku, cara ia menungguiku di gerbang kampus, cara ia menawarkan untuk mengantar pulang.

Ternyata aku salah.


Hari itu aku pulang lebih awal dan mendengar suara tawa dari ruang tamu.

Tawa ibuku… dan suara seorang laki-laki.

Aku melangkah perlahan, lalu berhenti.

Di sofa, Davin duduk sangat dekat dengan ibuku. Terlalu dekat.

“Bu… Davin?” tanyaku lirih.

Mereka berdua terkejut. Ibuku langsung berdiri, pura-pura merapikan rambut. Davin tersenyum kaku.

“Oh, Raka sudah pulang,” katanya.

Aku menatap keduanya bergantian.
“Apa yang kalian lakukan?”

Ibu menjawab cepat, “Dia hanya mampir, Nak.”

“Mampir dengan wajah semerah itu?” balasku.

Ibu terdiam. Davin menunduk.

Aku merasakan sesuatu yang dingin merayap di dadaku—kecurigaan, rasa takut, dan sejenis luka yang belum bisa kujelaskan.


Malam itu aku mencoba bertanya pada Davin melalui chat:

Raka: Kamu suka ibuku?
Davin: Raka… sebaiknya kita bicara langsung.
Raka: Jawab saja.
Davin: Aku nggak mau kamu salah paham.

Sampai aku tak bisa tidur.

Karena di dalam hati kecilku, aku tahu sesuatu telah berubah. Dan apa pun itu… akan menghancurkan sesuatu dalam hidupku.


Episode 2 — Pengakuan yang Kutakutkan

Besoknya Davin mengajakku bertemu di taman dekat kampus. Angin sore membuat dedaunan bergerak lembut, tapi suasana hati kami jauh dari lembut.

“Raka,” katanya, menatapku serius. “Ada hal yang harus kamu tahu.”

Aku menelan ludah.

“Jawab saja pertanyaanku kemarin,” pintaku. “Apa kamu suka ibuku?”

Davin menutup mata sejenak, seolah mengumpulkan keberanian.

“Iya,” katanya akhirnya. “Aku mencintai ibumu.”

Kata-kata itu menusuk seperti belati.

“Kau bercanda?” suaraku bergetar.

“Tidak.”
“Davin, kamu 27! Ibu 42!”
“Usia tidak selalu jadi masalah…”

Aku tertawa getir. “Aku kira kamu peduli padaku.”

Davin terlihat shock. “Peduli? Raka, aku menganggapmu adik yang—”

“Jangan sebut aku adik!” teriakku.

Orang-orang di taman menoleh, tapi aku tak peduli.

“Kenapa ibu? Dari semua orang di dunia ini, kenapa ibu?” tanyaku dengan suara memecah.

Davin menarik napas panjang.
“Karena dia… membuatku merasa hidup. Dia dewasa, hangat, dan kuat. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.”

“Kau berhasil,” balasku lirih.


Malam itu di rumah, aku duduk bersama ibu.

“Bu… apa Ibu suka Davin?” tanyaku.

Ibu Mira menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Raka… Ibu tidak pernah berniat menyakitimu. Tapi iya, Ibu menyukainya.”

“Sejak kapan?”

“Sudah beberapa bulan. Davin sering membantu Ibu mengurus toko.”

Aku memalingkan wajah.

“Kenapa Ibu tidak bilang?”

“Karena kamu adalah duniaku, Nak. Ibu takut kamu terluka.”

Aku tertawa pahit.

“Sudah terlambat, Bu.”

Ibu memegang tanganku, tapi aku menariknya pelan.

Malam itu aku mengurung diri di kamar, menatap langit-langit.
Mencoba mengerti kenapa hatiku terasa seperti diremas dari dalam.


Episode 3 — Merelakan yang Paling Sulit

Dua minggu berlalu. Aku menghindari Davin dan ibuku sebisa mungkin. Rumah terasa dingin. Makan malam senyap. Bahkan tawa ibu bukan lagi hal yang ingin kudengar.

Suatu malam, ibuku mengetuk pintu kamarku.

“Raka… boleh Ibu masuk?”

“Masuk saja.”

Ibu duduk di sampingku. “Nak… Davin melamarku.”

Aku menoleh cepat. “Apa?”

“Ibu belum jawab. Ibu tidak akan mengambil keputusan tanpa bicara denganmu.”

Aku menggigit bibir, menahan emosi.

“Apa Ibu benar-benar mencintainya?”

Ibu tersenyum kecil, sendu. “Iya. Dia membuat Ibu merasa tidak sendirian. Dia baik, tulus, dan… dia memperlakukan Ibu dengan hormat.”

Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.
“Lalu aku apa, Bu? Kurang cukup menemani Ibu?”

Ibu memelukku. “Kamu anakku, bukan pasangan hidupku. Kamu suatu hari akan pergi, menikah, punya duniamu sendiri. Dan Ibu… Ibu juga ingin bahagia.”

Aku terisak.
“Sakit, Bu… rasanya sakit sekali.”

Ibu menangis bersamaku.

Setelah lama diam, aku akhirnya berkata,
“Kalau Davin benar-benar membahagiakan Ibu… aku akan belajar merelakan.”

Ibu memelukku erat.
“Terima kasih, Nak. Kamu kuat sekali.”


Dua hari kemudian, aku menemui Davin di warung kopi.

“Aku tidak akan memanggilmu kakak,” kataku datar.
Davin terkekeh canggung. “Tidak apa-apa.”

“Tapi kalau kau sakiti ibu… aku yang akan datang padamu.”

Davin mengangguk. “Aku berjanji, Raka.”

Untuk pertama kalinya—aku melihat lelaki itu bukan sebagai pengkhianat, tapi sebagai seseorang yang sungguh mencintai ibuku.

Mungkin… hatiku masih remuk. Mungkin butuh waktu lama untuk sembuh.
Tapi melihat ibu tersenyum lagi, membuatku sadar:

Terkadang merelakan adalah bentuk cinta yang paling dewasa.

Thursday, November 13, 2025

Korean Drama: Spring Rain

๋‚ด ๋‚จ์ž์นœ๊ตฌ๋Š” ๋‚ด ์–ธ๋‹ˆ๋ฅผ ์‚ฌ๋ž‘ํ•ด — 7๋ถ€์ž‘ K-๋“œ๋ผ๋งˆ ๋Œ€๋ณธ

๋‚ด ๋‚จ์ž์นœ๊ตฌ๋Š” ๋‚ด ์–ธ๋‹ˆ๋ฅผ ์‚ฌ๋ž‘ํ•ด

์žฅ๋ฅด: ๋กœ๋งจ์Šค · ๊ฐ€์กฑ · ๋ฉœ๋กœ — ํฌ๋งท: 7๋ถ€์ž‘ ๋Œ€๋ณธ(์žฅ๋ฉด๋ณ„ ๋Œ€์‚ฌ) · ๋ธ”๋กœ๊ทธ ๊ฒŒ์‹œ์šฉ

์•„๋ž˜๋Š” ๋ธ”๋กœ๊ทธ ๊ฒŒ์‹œ์šฉ์œผ๋กœ ์ •๋ฆฌ๋œ ์ „์ฒด 7ํŽธ์˜ ๋Œ€๋ณธ์ž…๋‹ˆ๋‹ค. ๋ชจ๋ฐ”์ผ์—์„œ ์ฝ๊ธฐ ํŽธํ•˜๊ฒŒ ๊ตฌ์กฐํ™”ํ–ˆ๊ณ , ๊ฐ ์—ํ”ผ์†Œ๋“œ๋งˆ๋‹ค ์žฅ๋ฉด๊ณผ ๋Œ€์‚ฌ๊ฐ€ ๋ช…ํ™•ํžˆ ๊ตฌ๋ถ„๋˜์–ด ์žˆ์Šต๋‹ˆ๋‹ค. ์›ํ•˜์‹œ๋ฉด ์›น์šฉ ์ด๋ฏธ์ง€ ํƒœ๊ทธ(์ปค๋ฒ„, ๊ฐ ์—ํ”ผ์†Œ๋“œ ์ธ๋„ค์ผ)๋‚˜ ์ž๋ง‰ ํŒŒ์ผ(srt) ํฌ๋งท์œผ๋กœ๋„ ๋งŒ๋“ค์–ด ๋“œ๋ฆฝ๋‹ˆ๋‹ค.

EPISODE 1 — ์šฐ์—ฐํ•œ ๋งŒ๋‚จ

INT. ๋ฏธ์ˆ  ๋Œ€ํ•™ ์ž‘์—…์‹ค – ๋‚ฎ

์ง€ํ›ˆ (๋ฏธ์†Œ): ๋„ค๊ฐ€ ์ข‹์•„ํ•˜๋Š” ๋ผ๋–ผ์•ผ. ์„คํƒ• ์—†์ด. ๋„ˆ์ฒ˜๋Ÿผ ๋‹ฌ์ฝคํ•˜๋‹ˆ๊นŒ.
ํ•˜๋Š˜ (์›ƒ์Œ): ๊ธฐ์–ตํ–ˆ๋„ค? ์—ญ์‹œ ๋‚ด ๋‚จ์ž์นœ๊ตฌ์•ผ.
์ง€ํ›ˆ: ๋„ค๊ฐ€ ์ข‹์•„ํ•˜๋Š” ์ƒ‰๊น”, ๋„ค๊ฐ€ ํ™”๋‚  ๋•Œ ํ‘œ์ •๊นŒ์ง€ ๋‹ค ๊ธฐ์–ตํ•ด.
ํ•˜๋Š˜: ์ด๋ฒˆ ์ž‘ํ’ˆ์€ ๋‚ด ์ „์‹œ์˜ ๋ฉ”์ธ์ด๋ผ๊ณ .
์ง€ํ›ˆ (๋‚ด๋ ˆ์ด์…˜): ์ด ์†… ์ •๋ง ์•„๋ฆ„๋‹ค์šด ๊ฑธ ๋งŒ๋“ค์–ด.

EXT. ํ•˜๋Š˜์˜ ์ง‘ – ์ €๋…

ํ•˜๋Š˜: ์–ธ๋‹ˆ๊ฐ€ ๋‰ด์š•์—์„œ ๋Œ์•„์™”๋Œ€! ์˜ค๋Š˜ ์ €๋…์— ์†Œ๊ฐœํ•ด ์ค„๊ฒŒ.
์ง€ํ›ˆ: ๊ทธ๋ž˜, ๊ธฐ๋Œ€๋ผ.

EPISODE 2 — ์ˆจ๊ธธ ์ˆ˜ ์—†๋Š” ์‹œ์„ 

INT. ๊ฐค๋Ÿฌ๋ฆฌ – ๋‚ฎ

ํ•˜๋Š˜: ์ง€ํ›ˆ, ํฐ ๊ทธ๋ฆผ ์ข€ ์˜ฎ๊ฒจ์ค˜!
์†Œ๋ผ (๋ฏธ์†Œ): ๊ณ ๋งˆ์›Œ์š”, ์ง€ํ›ˆ ์”จ.
์ง€ํ›ˆ: ๋ณ„๋ง์”€์„์š”, ๋ˆ„๋‚˜.

EXT. ๊ท€๊ฐ€๊ธธ – ์ €๋…

ํ•˜๋Š˜: ์–ธ๋‹ˆ ๋ฉ‹์ง€์ง€? ์—ญ์‹œ ์šฐ๋ฆฌ ์ง‘ ์ฒœ์žฌ์•ผ.
์ง€ํ›ˆ (์–ต์ง€ ๋ฏธ์†Œ): ์‘… ์ •๋ง ๋Œ€๋‹จํ•˜์‹  ๋ถ„์ด์•ผ.

EPISODE 3 — ๋น„์™€ ๋น„๋ฐ€

INT. ๊ฐค๋Ÿฌ๋ฆฌ – ๋ฐค, ๋น„ ์˜ค๋Š” ๋‚ 

์ง€ํ›ˆ: ๋ˆ„๋‚˜… ์™œ ์ž๊พธ ์ƒ๊ฐ์ด ๋‚˜๋Š” ๊ฑธ๊นŒ์š”?
์†Œ๋ผ (๋‹นํ™ฉ): ๋ฌด์Šจ ๋ง์ด์•ผ? ํ•˜๋Š˜์ด๋Š” ๋„ค ์—ฌ์ž์นœ๊ตฌ์•ผ.
์ง€ํ›ˆ: ์•Œ์•„์š”. ๊ทธ๋Ÿฐ๋ฐ ๋งˆ์Œ์ด ๋ง์„ ์•ˆ ๋“ค์–ด์š”.
์†Œ๋ผ (๋ˆˆ๋ฌผ): ๊ทธ๋Ÿฌ์ง€ ๋งˆ… ์šฐ๋ฆฌ ๋‘˜ ๋‹ค ์ƒ์ฒ˜๋งŒ ๋ฐ›์„ ๊ฑฐ์•ผ.

EPISODE 4 — ๋‹ฌ์ฝคํ•œ ๊ฑฐ์ง“๋ง

INT. ์นดํŽ˜ – ๋‚ฎ

์ง€ํ›ˆ: ์™œ ๋‚  ํ”ผํ•˜๋Š” ๊ฑฐ์˜ˆ์š”, ๋ˆ„๋‚˜?
์†Œ๋ผ: ๋‘๋ ต๊ฑฐ๋“ ์š”. ๋‚˜ ์ž์‹ ์ด.
์ง€ํ›ˆ: ํ•˜์ง€๋งŒ ๋‚˜, ๋”๋Š” ์—ฐ๊ธฐ ๋ชปํ•˜๊ฒ ์–ด์š”. ํ•˜๋Š˜์„ ๋ณผ ๋•Œ๋งˆ๋‹ค ์ฃ„์ฑ…๊ฐ์ด ๋“ค์–ด์š”.
์†Œ๋ผ: ๊ทธ๋Ÿผ ์žŠ๋Š” ๋ฒ•์„ ๋ฐฐ์›Œ์š”. ๊ทธ๊ฒŒ ์œ ์ผํ•œ ๊ธธ์ด์—์š”.

EPISODE 5 — ์ง„์‹ค์˜ ๋ฐค

INT. ์†Œ๋ผ์˜ ๋ฐฉ – ์˜คํ›„

ํ•˜๋Š˜ (์ถฉ๊ฒฉ): ์–ธ๋‹ˆ… ์ง€ํ›ˆ ์˜ค๋น … ์–ด๋–ป๊ฒŒ ์ด๋Ÿด ์ˆ˜๊ฐ€ ์žˆ์–ด.

EXT. ์ง€ํ›ˆ์˜ ์ง‘ ์•ž – ๋ฐค, ๋น„ ์˜ค๋Š” ๊ธธ

ํ•˜๋Š˜ (์šธ๋ฉฐ): ๋งํ•ด์š”! ์–ธ๋‹ˆ๋ฅผ ์‚ฌ๋ž‘ํ•ด์š”?
์ง€ํ›ˆ (์นจ๋ฌต): ...
ํ•˜๋Š˜ (์˜ค์—ด): ๊ทธ ์นจ๋ฌต์ด ๋‹ต์ด์•ผ. ์ด์   ๋์ด์•ผ, ์ง€ํ›ˆ ์˜ค๋น .

EPISODE 6 — ์ด๋ณ„์˜ ์‹œ๊ฐ„

INT. ์ธ์ฒœ๊ณตํ•ญ – ์•„์นจ

์†Œ๋ผ: ๋‚œ ๋‰ด์š•์œผ๋กœ ๋Œ์•„๊ฐˆ ๊ฑฐ์•ผ. ์—ฌ๊ธฐ ์žˆ์œผ๋ฉด ๋” ์•„ํ”Œ ๊ฒƒ ๊ฐ™์•„.
ํ•˜๋Š˜: ํ™”๋‚ด๊ณ  ์‹ถ์—ˆ๋Š”๋ฐ… ์ด์ œ ๋„ˆ๋ฌด ์ง€์ณค์–ด.
์†Œ๋ผ: ๋ฏธ์•ˆํ•ด, ํ•˜๋Š˜์•„. ์ •๋ง ๋ฏธ์•ˆํ•ด.

INT. ์ž‘์—…์‹ค – ๋ฐค

ํ•˜๋Š˜ (๋‚ด๋ ˆ์ด์…˜): ์†”์งํ•˜์ง€ ์•Š์€ ์‚ฌ๋ž‘์€ ์ƒ‰์„ ์žƒ์€ ๊ทธ๋ฆผ ๊ฐ™์•„. ์ด์ œ ๋‚œ ๋‹ค์‹œ ๊ทธ๋ฆด ๊ฑฐ์•ผ.

EPISODE 7 — ์‹œ๊ฐ„์ด ์น˜์œ ํ•ด ์ค€๋‹ค

INT. ์ „์‹œํšŒ์žฅ – 2๋…„ ํ›„

์†Œ๋ผ: ์ด๊ฑด… ์šฐ๋ฆฌ ์ด์•ผ๊ธฐ์ง€?
ํ•˜๋Š˜: ๋งž์•„. ํ•˜์ง€๋งŒ ์•„ํ”ˆ ์ด์•ผ๊ธฐ๊ฐ€ ์•„๋‹ˆ๋ผ, ์šฉ์„œ์˜ ์ด์•ผ๊ธฐ์•ผ.
์†Œ๋ผ (๋ˆˆ๋ฌผ): ํ•˜๋Š˜์•„… ๊ณ ๋งˆ์›Œ.
ํ•˜๋Š˜: ์–ธ๋‹ˆ, ์ด์ œ ๋‹ค ๊ดœ์ฐฎ์•„. ์ง„์งœ ์‚ฌ๋ž‘์€ ๊ผญ ์†Œ์œ ํ•ด์•ผ ํ•˜๋Š” ๊ฒŒ ์•„๋‹ˆ์•ผ.

์ž‘์„ฑ์ž: Rafa Ibrahim · ๊ฒŒ์‹œ์ผ: ์ž๋™ ์ƒ์„ฑ

์›ํ•˜์‹œ๋ฉด ์ด ๊ธ€์„ HTML ํŒŒ์ผ๋กœ ๋‹ค์šด๋กœ๋“œํ•˜๊ฑฐ๋‚˜ Blogger ํฌ์ŠคํŠธ์šฉ๋กœ ์ตœ์ข… ๊ฒ€์ˆ˜(๋ฉ”ํƒ€ ํƒœ๊ทธ, ์ด๋ฏธ์ง€ ์‚ฝ์ž…, ํƒœ๊ทธ ์„ธ๋ถ„ํ™”)๋ฅผ ๋„์™€๋“œ๋ฆด๊ฒŒ์š”.