Episode 1 — Rahasia di Balik Pintu Ruang Tamu
Namaku Raka, 22 tahun. Hidup hanya berdua dengan ibuku, Ibu Mira, sejak ayah meninggal lima tahun lalu. Ibuku masih muda, baru 42 tahun, dan wajahnya sering dikira kakak perempuanku.
Hidup kami sederhana—dan tenang. Sampai seseorang datang mengubah segalanya.
Namanya Davin, lelaki 27 tahun yang kukenal sebagai senior di kampus. Sejak pertama bertemu, ia selalu tampak hangat, penuh perhatian. Aku kira… dia menyukaiku. Cara ia menatapku, cara ia menungguiku di gerbang kampus, cara ia menawarkan untuk mengantar pulang.
Ternyata aku salah.
Hari itu aku pulang lebih awal dan mendengar suara tawa dari ruang tamu.
Tawa ibuku… dan suara seorang laki-laki.
Aku melangkah perlahan, lalu berhenti.
Di sofa, Davin duduk sangat dekat dengan ibuku. Terlalu dekat.
“Bu… Davin?” tanyaku lirih.
Mereka berdua terkejut. Ibuku langsung berdiri, pura-pura merapikan rambut. Davin tersenyum kaku.
“Oh, Raka sudah pulang,” katanya.
Aku menatap keduanya bergantian.
“Apa yang kalian lakukan?”
Ibu menjawab cepat, “Dia hanya mampir, Nak.”
“Mampir dengan wajah semerah itu?” balasku.
Ibu terdiam. Davin menunduk.
Aku merasakan sesuatu yang dingin merayap di dadaku—kecurigaan, rasa takut, dan sejenis luka yang belum bisa kujelaskan.
Malam itu aku mencoba bertanya pada Davin melalui chat:
Raka: Kamu suka ibuku?
Davin: Raka… sebaiknya kita bicara langsung.
Raka: Jawab saja.
Davin: Aku nggak mau kamu salah paham.
Sampai aku tak bisa tidur.
Karena di dalam hati kecilku, aku tahu sesuatu telah berubah. Dan apa pun itu… akan menghancurkan sesuatu dalam hidupku.
Episode 2 — Pengakuan yang Kutakutkan
Besoknya Davin mengajakku bertemu di taman dekat kampus. Angin sore membuat dedaunan bergerak lembut, tapi suasana hati kami jauh dari lembut.
“Raka,” katanya, menatapku serius. “Ada hal yang harus kamu tahu.”
Aku menelan ludah.
“Jawab saja pertanyaanku kemarin,” pintaku. “Apa kamu suka ibuku?”
Davin menutup mata sejenak, seolah mengumpulkan keberanian.
“Iya,” katanya akhirnya. “Aku mencintai ibumu.”
Kata-kata itu menusuk seperti belati.
“Kau bercanda?” suaraku bergetar.
“Tidak.”
“Davin, kamu 27! Ibu 42!”
“Usia tidak selalu jadi masalah…”
Aku tertawa getir. “Aku kira kamu peduli padaku.”
Davin terlihat shock. “Peduli? Raka, aku menganggapmu adik yang—”
“Jangan sebut aku adik!” teriakku.
Orang-orang di taman menoleh, tapi aku tak peduli.
“Kenapa ibu? Dari semua orang di dunia ini, kenapa ibu?” tanyaku dengan suara memecah.
Davin menarik napas panjang.
“Karena dia… membuatku merasa hidup. Dia dewasa, hangat, dan kuat. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.”
“Kau berhasil,” balasku lirih.
Malam itu di rumah, aku duduk bersama ibu.
“Bu… apa Ibu suka Davin?” tanyaku.
Ibu Mira menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Raka… Ibu tidak pernah berniat menyakitimu. Tapi iya, Ibu menyukainya.”
“Sejak kapan?”
“Sudah beberapa bulan. Davin sering membantu Ibu mengurus toko.”
Aku memalingkan wajah.
“Kenapa Ibu tidak bilang?”
“Karena kamu adalah duniaku, Nak. Ibu takut kamu terluka.”
Aku tertawa pahit.
“Sudah terlambat, Bu.”
Ibu memegang tanganku, tapi aku menariknya pelan.
Malam itu aku mengurung diri di kamar, menatap langit-langit.
Mencoba mengerti kenapa hatiku terasa seperti diremas dari dalam.
Episode 3 — Merelakan yang Paling Sulit
Dua minggu berlalu. Aku menghindari Davin dan ibuku sebisa mungkin. Rumah terasa dingin. Makan malam senyap. Bahkan tawa ibu bukan lagi hal yang ingin kudengar.
Suatu malam, ibuku mengetuk pintu kamarku.
“Raka… boleh Ibu masuk?”
“Masuk saja.”
Ibu duduk di sampingku. “Nak… Davin melamarku.”
Aku menoleh cepat. “Apa?”
“Ibu belum jawab. Ibu tidak akan mengambil keputusan tanpa bicara denganmu.”
Aku menggigit bibir, menahan emosi.
“Apa Ibu benar-benar mencintainya?”
Ibu tersenyum kecil, sendu. “Iya. Dia membuat Ibu merasa tidak sendirian. Dia baik, tulus, dan… dia memperlakukan Ibu dengan hormat.”
Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan.
“Lalu aku apa, Bu? Kurang cukup menemani Ibu?”
Ibu memelukku. “Kamu anakku, bukan pasangan hidupku. Kamu suatu hari akan pergi, menikah, punya duniamu sendiri. Dan Ibu… Ibu juga ingin bahagia.”
Aku terisak.
“Sakit, Bu… rasanya sakit sekali.”
Ibu menangis bersamaku.
Setelah lama diam, aku akhirnya berkata,
“Kalau Davin benar-benar membahagiakan Ibu… aku akan belajar merelakan.”
Ibu memelukku erat.
“Terima kasih, Nak. Kamu kuat sekali.”
Dua hari kemudian, aku menemui Davin di warung kopi.
“Aku tidak akan memanggilmu kakak,” kataku datar.
Davin terkekeh canggung. “Tidak apa-apa.”
“Tapi kalau kau sakiti ibu… aku yang akan datang padamu.”
Davin mengangguk. “Aku berjanji, Raka.”
Untuk pertama kalinya—aku melihat lelaki itu bukan sebagai pengkhianat, tapi sebagai seseorang yang sungguh mencintai ibuku.
Mungkin… hatiku masih remuk. Mungkin butuh waktu lama untuk sembuh.
Tapi melihat ibu tersenyum lagi, membuatku sadar:
Terkadang merelakan adalah bentuk cinta yang paling dewasa.